Bab 4: Miskin itu tidak enak!

129 19 8
                                    

***

Sri melihat bakul tempat pakaian kotor sudah tidak ada. Dia menoleh ke luar barak sekali lagi, Sri menebak ibunya pergi ke Sungai untuk mencuci. Dua piring berisi sarapan segera diletakkannya. Jatah sarapan pagi itu adalah nasi jagung dengan lauk tempe bongkrek, tidak lupa dengan dua pisang rebus dan teh tawar yang boleh diminum sepuasnya.

"Tapi… Kenapa ibu tidak membangunkanku?"

Sri mengangkat tangannya yang masih terbungkus daun tembakau. Dia mengendusnya...  Lalu mencebik bibirnya, Sri jelas tidak menyukainya baunya yang sungguh luar biasa, seperti bau rokok kretek yang busuk! Tetapi bau busuk itu, berbanding terbalik efeknya yang sangat luar biasa. Nyeri di tangannya hilang, bengkaknya tidak lagi melapik dan jari-jarinya pun bisa kembali mengepal. Walaupun kondisi beberapa kuku-kukunya berwarna gelap, Sri merasa lebih baik daripada kemarin.

"Atawa... Aku buka wae kain ini..."

Suara derit langkah terdengar melintasi lorong barak itu, Sri langsung berdiri dan waspada. Bangunan barak yang sebagian besar terbuat dari bambu, sering mengeluarkan suara bambu beradu. Itu menandakan, ada orang yang berjalan di atasnya.

"Sri?"

Suara ibunya memanggil. Sri pun melemas lega, ketika pintu bambu itu terbuka.

"Ibu kenapa sendirian pergi ke sungai?" Bola matanya mengikuti perempuan berkebaya hitam itu tergesa-gesa mendekatinya. "Aku sudah mengambil sarapan untuk kita," sambung Sri

Dengan raut aneh, Atik pun bersimpuh di samping Sri. "Sri, Ibu mendapatkan sesuatu..." bisik Atik. Bakul yang berisi kain basah itu dipeluknya erat-erat. Sri bingung dengan sikap ibunya.

"Uh? Aya naon, Bu."

"Kita akan mendapatkan banyak Gulden."

Sri tidak mengerti, tetapi dia tertawa. "Ibu ini baru saja sampai sudah membahas Gulden. Ayo, sarapan heula," ucapnya sambil membersihkan sisa-sisa tembakau di sela-sela jarinya.

"Sri, tingali ieu (Sri, lihat ini)." Atik menarik kain jarik basah di bakulnya, memamerkan hiasan rambut temuannya.

Sri mengerjapkan matanya, pikirannya langsung menangkap hal negatif. Ketakutan itu langsung merayap naik. "Ibu, mendapatkan perhiasan ini dari mana?" Suaranya setengah terkejut.

"... Dari sungai."

Sri melirik ke arah luar jendela, takut ada yang melihat. Dia pun segera membereskan sisa-sisa baluran tangannya, lalu memasukkannya ke dalam besek berisi sampah.

"Apa yang akan ibu lakukan dengan perhiasan itu?" Sri menutup tirai jendela. Dia takut, kalau-kalau sang ibu sebenarnya mencuri. "Naha Ibu maling?"

"Ibu tidak mencuri! Ibu memang menemukannya di dasar sungai ketika sedang mencuci kain." Atik mengangkat benda berkilauan sebesar telapak tangan itu. "Urang bisa ngajual eta (Kita bisa menjualnya)."

Sri kembali duduk di atas dingkliknya. "Bagaimana kita bisa menjualnya? Kita berada di barak yang diawasi ketat. Ke luar desa Walangsari juga lebih menakutkan...  Patroli Walanda banyak keliaran." Sri mengambil potongan kain baru untuk pembungkus tangannya.

"Ah, benar juga." Atik tidak memikirkannya. "…Kecuali kita kabur dari perkebunan dan melintasi hutan ke arah kaki gunung Salak."

"Tidak, Bu. Aku tidak mau melakukan itu," sahut Sri. Dia takut apes, kalau-kalau kabur dan tertangkap... Hukumannya akan lebih mengerikan.

Atik lemas, dilemparnya kembali condroso itu kembali ke dalam bakulnya. Atik baru sadar, sangat tidak mungkin mereka menyimpannya lama-lama di kamar barak, para Mandor suka melakukan pemeriksaan dadakan ke dalam kamar-kamar para pekerja.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang