Bab 61: Pagi Yang Membingungkan

89 19 7
                                    

***

"Naon?"

Bola mata Indung Ali bergerak, dia mengamati langkah Atik yang mengendap-mengendap seperti maling.

Perempuan berambut putih itu menempelkan telunjuk ke arah bibirnya, isyarat agar Indung Ali tidak mengganggunya. Atik pun sedikit menunduk dan menempelkan telinganya di daun pintu. Indung Ali hanya menggelengkan kepalanya menyaksikan tingkah ibu itu. Sepertinya, aktivitas Meneer Henri dan Sri yang mengundang perhatiannya.

Mimik wajah Atik terlihat sumringah sebelum meninggalkan pintu itu. Dia berlari layaknya anak kecil yang mendapatkan sesuatu.

"Tidak bagus begitu, mau tahu urusan pribadi orang," tegur Indung Ali.

Atik mengerucutkan bibirnya.

"Ah ... aku ini hanya ingin memastikan saja ... Ki Ali kan tahu sendiri, Tuan Walanda itu cinta mati dengan Wulan Asih," pungkas Atik seraya menarik kursi di samping Indung Ali.

"Yang terpenting Meneer Henri naik ke panggung dan menjemput Pengantinnya. Urusan perasaan itu nomor sekian," balas Indung Ali. Tangannya mulai merapikan peralatan merokoknya. "Toh, Meneer Henri tunduk karena pengaruh mantra yang dibacakan oleh Sri."

Atik mengerutkan dahinya, ketika mendengar seloroh Ki Ali. Atik pun memahami sesuatu.

"Bagaimana jika mereka saling mencintai? Bagaimana jika Meneer Henri dan Sri Kemuning ingin membentuk keluarga di masa depan."

"Tidak bisa! Penari Cadeau tidak boleh menikah ataupun punya anak."

"Tidak bisa?"

"Ni Atik pasti tahu hikayat Kanjeng Dewi Kamboja yang patah hati karena suaminya dibunuh penyamun. Karena itulah penari-penari ini tidak boleh menikah!"

Atik menelan ludahnya.

"Ya, padahal Meneer Henri bilang, dia berniat menikahi Sri," sambung Indung Ali kemudian menepuk-nepuk mulutnya yang menguap lebar. Kantuknya sudah mulai merajai matanya.

"Be... Benarkah? Meneer Henri mau menikahi Sri?"

"Ya, tadi meneer itu memberitahuku."

"Aku ... Aku tidak melarang, Ki." Atik bimbang. Di antara senang dan juga ...

"Tapi tidak dengan Penari Cadeau. Semua penari Cadeau di dunia ini tidak ada yang menikah!" Indung Ali menegaskan suaranya.

Atik pun terdiam, tubuhnya mengigil. Suara katak dan jangkrik mulai mendominasi lingkungan sekitar Rumah Bedeng itu ... Meskipun, hawa yang terasa tetap sama membekunya. Serta-merta perempuan kurus itu memandangi Wajah Indung Ali. Tetapi isi kepalanya bukanlah menilai raut tua wajah pemimpin kelompok tari ini.

Atik masih meyakini rencananya akan berhasil! Apalagi hati tuan kaya raya itu begitu mudah teralihkan.

Bukankah jika Sri hamil! Maka hal itu mengubah total seluruh kehidupannya!

"Sudahlah, aku mau tidur. Selamat malam, Ni Atik." Indung Ali menguap lagi, dia segera berbalik menuju kamarnya yang terletak di belakang dapur.

Atik senyap dan lamar menyandarkan punggungnya, hingga kursi jati itu berderit. Pemandangan halaman rumah bedeng itu masih tertutup kabut yang tebal. Sorot cahaya lampu minyak yang diletakan di ujung rumah itu membiaskan proyeksi yang cukup mengerikan.

Atik menyadari, hidup mereka sudah berubah sejak menginjakkan kaki di Desa Walangsari. Di hati Atik, sebenarnya ada ruang sisi nurani yang kosong ... dan seharusnya Sri ada di sana. Namun kesulitan hidup yang pekat, Atik harus berani menumbalkan Sri. Sikap serakah dan keegoisannya menciptakan titik kegelisahan dan bercampur kehausan akan perubahan yang besar.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang