Bab 46: Rencana Pesta

80 23 13
                                    

***

Lalu?

Mengapa dia tak cukup awas terhadap gelugut yang dirasakan Wulan?

Apakah tiada maaf untuk menyelamatkan hubungan ini?

Tungkai punggung perempuan itu gemetaran—  air mata yang memenuhi lekuk kelopaknya bak serpihan kaca yang menusuk.

Wulan tersenyum, walaupun urat di tenggorokannya terasa menegang.

"Oh? Jadi akan mengadakan pesta di rumah ini? Mengundang Penari Cadeau?"

Sekretaris kerajaan melirik ke arah Meneer Henri, dia yang tidak mengerti bahasa Wulan, selain kata ‘Cadeau’.

Henri bereaksi datar atas pertanyaan Kekasihnya itu.

"… Ya, Meneer Hans menginginkan mereka."

Wulan merasakan kekeringan di dalam kerongkongannya, dia sedemikian gugup ... jika apa yang disampaikan kepadanya adalah sesuatu yang dia takutkan.

"Bukankah dulu Meneer Henri tidak mau melihat penari Cadeau menari?"

"Apakah kamu tidak paham jawabanku? Meneer Hans lah yang ingin menyaksikan Penari Cadeau!"

Henri meletakkan garpu ditangannya. Suara perempuan yang dulu begitu menyenangkan, kini terasa mengugurkan selera makannya. Acara makan siang itu, ternyata tidak sanggup menjadi genjatan senjata atas kekecewaannya. "Urusan aku akan menyaksikan penari Cadeau atau tidak ... itu tidaklah penting."

"Lebih baik acara dilakukan di barak saja. Itu sudah kebiasaan mereka." Wulan masih tidak mau kalah.

Henri sebenarnya suka dengan ide itu. Dia sebenarnya tidak suka keramaian di area rumahnya. "Tapi Meneer Hans ingin menikmati acaranya sendiri."

"Tidak, aku tidak setuju!"

"Wulan, jangan menyela apa pun!" Henri melantangkan suaranya. Dia pun menaikkan telunjuknya, agar Wulan menutup mulutnya.

Tak ada yang bisa dilakukan Wulan. Gadis 19 tahun itu pun menunduk dan terisak.

"Is alles in orde, Meneer Henri? (Apa semua baik-baik saja, Meneer Henri?)"

"Ja, Sorry, als ons gesprek u stoorde, Meneer Hans (Maaf, jika pembicaraan kami menganggu anda makan, Meneer Hans)"

Wulan menegakkan punggungnya. Dia menarik ujung bef kebaya yang dikenakannya, kebaya kutubaru hijau berbahan sutera dengan motif bunga-bunga kuning itu adalah buatannya sendiri. Karena bukan lagi seorang penari Cadeau, Wulan pun menurunkan gelungan rambutnya sedikit lebih rendah, hingga tengkuknya tidak sepenuhnya lagi memamerkan keindahannya.

"Ik wil juwelen aan Nyi Darsi geven. Zal hij het leuk vinden? (Aku ingin memberikan perhiasaan untuk Nyi Darsi. Apakah dia akan menyukainya?)," cetus Meneer Hans.

"Dat is geweldig ... Ik weet zeker dat Nyi Darsi het leuk vindt (Itu bagus … Aku yakin Nyi Darsi menyukainya)."

Manik Wulan berguling ke ujung selopnya, ujung alisnya pun sampai berkerut-kerut. Wulan berusaha mengabaikan pembicaraan kedua meneer itu.

Hatinya sangat sakit! Dia tetap tidak terima dengan apa yang sudah terjadi.

Sorot runcingnya menandai beberapa pelayan yang berdiri di sekitar meja, mengira-ngira siapa yang menjadi tersangkanya.

Wulan berjanji di dalam hati —  melakukan sesuatu, kepada orang yang merusak kesenangannya.

***

"Ki Ali! Ki Ali!"

Seorang penjaga berlari-lari mendekati Indung Ali yang baru melemparkan jorannya. Dia menerobos aliran sungai menyusul Indung Ali yang duduk di seberang hulu.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang