Bab 70: Tertangkap

72 21 14
                                    

***

Wajah perempuan itu benar-benar nyanyar. Cucuran darah segar masih keluar dari lubang hidung dan sisi bibirnya. Sangat tidak wajar, jika seorang perempuan tua dipukuli secara beramai-ramai. Para pria itu pun menyeretnya kasar dari teras hingga ke depan pagar rumah.

Henri resah dan langsung melirik ke arah Sri yang duduk termenung. Untungnya, dia itu tidak turut berdiri bersamanya menyaksikan pemandangan memilukan itu.

"Jangan-jangan telah sesuatu yang terjadi di dalam rumah itu, Meneer?" bisik Edi. "Apa yang kita harus lakukan, Meneer?" Dia pun khawatir, jika Sri melihat apa yang terjadi dengan ibunya.

"Aku tidak tahu. Nasib baik, Sri keluar dari rumah itu …."

Henri berdesis. Dia pun sadar harus menolong Atik, tetapi terlalu beresiko. Jika dia nekat melawan mereka dengan jumlah yang tidak seimbang, sudah pasti dia akan kalah dan akan membahayakan Sri.

Mata birunya beralih, dia menyoroti jalan gelap di luar jangkauan cahaya obor. Perasaannya gundah dan jantungnya masih berdebar-debar tidak tenang … tetapi dia masih mengharapkan pertolongan itu datang.

Samar-samar, suara tertungkas-tungkas terdengar, bentakan itu cukup keras. Ditambah beberapa lecutan benda yang memukul tanpa memberi jeda. Rintihan perempuan itu sepertinya dipaksa berteriak demi mengupas rasa sakit yang menderanya.

"A- apa yang terjadi?"

Henri dan Edi saling berpandangan … perempuan 15 tahun itu sudah berdiri di belakang mereka. Suara kesakitan itu memang berhasil memancing rasa ingin tahu Sri.

"Ah, kembalilah ke tempat yang aman. Tidak ada apa-apa." Henri memegang bahu Sri.

"Apa yang terjadi? Aku mengenal suara itu." Sri menahan tubuhnya hingga kaku. "Aku ingin tahu—  "

Henri menarik tubuh Sri untuk lebih mundur. "Tidak! Tetap diam di sana!" Henri menahan suaranya agar tidak terlalu tinggi.

"Me- Meneer? Ada apa sebenarnya?"

Sikap pria Walanda itu malah membuat Sri penasaran. Ekspresinya terlihat jelas sekali, kalau ada sesuatu yang di sembunyikan. Sri bisa melihat refleksi kegugupan itu bersemayam di dalam manik mata biru itu.

Henri mematung. Tatapan kelam itu berani membalasnya dengan sinar tegas yang tidak ingin ditundukan.

"Di mana putrimu? Di mana Sri?"

"Aku- aku tidak tahu!" jawab suara perempuan itu dengan nada penuh penderitaan.

"Jangan bohong!"

Suara libasan itu terdengar lagi, bahkan lebih keras dari sebelumnya. Entah apa yang digunakannya untuk memukul.

Jarak mereka memang tidak terlalu jauh. Mereka bersembunyi di belakang semak-semak, di antara pohon bambu-bambu yang tinggi … sehingga suara-suara itu cukup jelas terdengar.

Sri terkesiap, matanya membesar. Dia sangat kenal dengan suara ibunya! Suara kesakitan itu adalah suara ibunya! Sri tidak mengerti dengan apa yang akan terjadi.

"Tidak. Tenanglah, Sri. Kamu tetap di sini …" Henri menahan tubuh Sri yang melangkah maju.

"I… Ibuku… " lirih Sri. "Mereka menyiksa ibuku?"

"Aku tahu, Sri… tetaplah di sini … biar aku yang menolong Ibumu."

Tapi … suara siksaan itu terdengar lagi, kata-kata caci maki juga terucap dengan sangat kasar. Sri pun tahu, pria dengan suara serak dan tinggi itu adalah suara Ki Sedan … pria bengis itu sedang menyiksa ibunya karena mencarinya.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang