Bab 29: Drama

89 19 5
                                    

***

"Sri bawakan Teh panasnya dan singkong rebusnya, Bu."

Atik mengusap wajahnya. Dia meregang-regangkan tangan dan punggungnya. Rasanya baru kali ini, dia bangun dengan perasaan lebih nyaman. Tubuhnya pun lebih rileks sehingga. Atik hanya ingat, dia langsung ingin tidur setelah mengisap pipa logam itu. Atik pun tidak ingat nama yang disebutkan oleh Ki Ali. Entah apa yang diberikan kepadanya…

"Apa ibu terlambat bangun, Sri?"

"Belum, Bu, masih banyak waktu untuk berangkat ke perkebunan."

Atik melirik nampah berisi teh dan singkong panas yang sudah tersaji di atas kasurnya. "Siapa yang masak, Sri?"

"Nyi Jujun ... dia memang suka bangun pagi-pagi sekali dan memasak sarapan."

Atik mengangguk-angguk, dipandanginya kamar tempat Sri tinggal. Kamar itu luar biasa nyaman, dan bersih. Kasurnya pun empuk dan wangi. Atik merasa betah, rasanya dia tidak ingin kembali tidur di baraknya.

"Oh, ibu belum mengucapkan selamat, karena kamu sudah melewati puasa 40 hari dan ritual kedua, menelan 7 lada."

"Hm, terima kasih, Bu."

Sri menyeruput tehnya. Jawaban Sri kaku. Dipandanginya raut wajah Sri yang masam, rupanya kekesalannya kemarin terbawa sampai pagi ini. "Lihat wajahmu itu, apa artinya kamu masih marah dengan ibu?"

Sri tidak menjawab, dia memang sangat marah. Apa yang kemarin dilakukan ibunya kepada Kang Edi, sangatlah kejam dan mengerikan. Sri tidak bisa membayangkan, jika Kang Edi benar-benar tidak bisa bangun lagi.

"Kemarin … Ema reuwaseun pisan ningali manéh jeung Kang Edi (Ibu benar-benar terkejut melihatmu bergandengan dengan Kang Edi)." Atik mulai mengungkapkan alasannya. "Ibu juga sudah memperingatkanmu tentang kang Edi..."

"Haruskah ibu emosi seperti itu? bahkan Ibu tidak mau mendengarkan penjelasanku." Sri menyahut dengan nada sedikit tinggi.

"Sri, ibu hanya tahu kamu di rumah Bedeng ini dan menjalani ritual. Ibu tidak tinggal di sini dan mengawasimu," pungkas Atik. "Pikiran ibu sudah kalut, Ibu takut Sri disakiti orang lain."

"Tapi ibu kasar pisan. Jika emosi Ibu seperti itu, ibu malah mengingatkanku dengan Ki Sedan!"

Atik meletakkan gelas tehnya, dia mengakui sikapnya kepada Kang Edi memang sangat keterlaluan. Tetapi dia tidak pernah main-main akan ancamannya. Dia tidak menyukai pria itu mendekati Sri!

"Sekali lagi Ibumu ini hanya berniat ingin melindungimu saja, Sri. Kamu pasti ingat, sekalipun Ki Sedan yang mengganggu... Ibu teu sieun (Ibu tidak gentar)."

Sri menghela napas panjang.

"Naon? Siapa lagi yang akan kita andalkan untuk melindungi diri kita?" Atik meremas jemari putrinya dengan ekspresi sungguh-sungguh. "Selain Atik melindungi Sri dan Sri melindungi Atik... Karena Atik yang renta ini hanya punya Sri saja."

Lamat-lamat Sri tersenyum getir. Apa pun yang terjadi, memang seharusnya mereka berdua yang saling menguatkan. "Sri juga hanya punya ibu. Tapi Sri tidak mau, ibu bertindak kasar..."

Atik sebenarnya tidak ingin mengalah demi mempertahankan pendapatnya. Tetapi dia ingat akan pesan Ki Ali… Sri akan gagal melewati ritual kegita jika dirinya terus menekannya. Atik hening beberapa saat, dia mengabaikan keegoisan dirinya yang ingin menang sendiri.

"Sri, ibu benar-benar minta maaf karena kejadian kemarin. Ibu tidak bermaksud membuatmu ketakutan." Atik berusaha keras melembutkan suaranya. "Ibu melakukan itu, karena ibu sangat sayang dengan Sri…."

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang