Bab 60: Firasat

74 20 5
                                    

***

Walaupun hujan kian mereda, hamparan langit masih sendu dan enggan membuka sang kelabu. Tanah malam ini masih basah, masih betah berselimutkan kabut tebal yang mengugut setiap sendi. Desa Walangsari harus bersiap melewati malam panjang, perpadu dengan bau kebekuan. Hari ini, Gunung Salak sedang mendinginkan jagat di sekitarnya, menunjukan bahwa alam tidak dapat ditebak.

Kilap tetesan air masih jatuh di ujung atap rumah Bedeng. Daun nipah kering itu pun menjadi layu dan tidak lagi berwarna keabuan, tanda atap rumah itu basah seluruhnya. Api penerangan pun tampak goyah, menandakan angin dingin masih kekal bertiup kencang.

Indung Ali menaikkan kain sarung di seluruh punggungnya, jari-jarinya masih sibuk dengan pipa cangklongnya. Entah berapa kalinya dia mengisi lagi rajangan tembakau dan cengkih ke dalamnya. Teko kopi juga kembali terisi, dengan sajian camilan hangat pisang rebus dan kacang kedelai. Obrolan mereka masih panjang... Dia masih berniat menemani sang Tuan Walanda itu agar dia betah.

"Ah, hujan sudah berhenti." Henri memangku saja sarung yang diberikan, dia tidak terbiasa dengan gaya pribumi. Manik birunya berguling ke sekitarnya. Perubahan iklmi seperti ini tidak terlalu menganggunya, hanya saja kejadian alam ini baru sekali dialaminya sejak dia pindah ke bagian Barat Jawa.

"Kalau Meneer Herni lelah, Meneer bisa menginap di salah satu kamar..."

Henri menghisap cepat lintingan rokok di jarinya, hingga bara itu memangkasnya tinggal setengah. Batinnya menyeruak, dia memilih membawa pulang Sri dan tidur di kamarnya sendiri.

"... Dengan Sri tentunya," sambung Indung Ali.

"Hehe. Kalau begitu, aku tidak menolak itu."

"Tidak menolak lagi?" Indung Ali menopang punggungnya, suaranya menggoda sang tuan. Rupanya Sri sudah membuatnya melupakan Wulan Asih. "Sri melayani Meneer dengan baik rupanya. Ah, seharusnya aku memanggil anak itu dengan sebutan Nyi," selorohnya.

Henri menapik abu di ujung rokoknya, mimiknya dihiasi senyum yang cerah. "Sri gadis manis yang lugu. Dia penurut dan sebenarnya cukup pintar."

Indung Ali tersenyum. Ya, itu sudah dapat ditebak. Perempuan penurut memang menjadi kunci untuk mencuri hati seorang Pria Walanda. Mereka merasa kuat atas dominasinya yang tidak dapat mereka temui pada perempuan Walanda.

"Apakah artinya, Meneer masih mau membawanya?" tanya Indung Ali sebelum meneguk kopi jarungnya. "Asalkan meneer membayarkan mahar dan upeti sesuai dengan harga kesepakatan."

Bola mata cerah itu sinis terangkat, tanda bahwa pertanyaan itu mengusiknya. Henri merasakan, Sri layaknya barang sewaan yang di pertanyakan untuk perpanjanganya kontraknya. "Jika aku berniat membawanya pergi, apakah itu mungkin?"

"Tentu saja, Meneer bisa membawanya, Sri adalah milik Meneer."

"Aku mau membawanya bukan sebagai Pengantin Penari Cadeau... Aku ini mau menikahinya."

Indung Ali yang nyaris meneguk kopinya, langsung mengurungkan niatnya. Dia seakan tidak mempercayai apa yang didengarnya. Tentu saja begitu sulit mempercayai kalau secepat ini Sang tuan Walanda sudah melupakan kekukuhan terhadap Wulan Asih. Tapi itu bukan kabar gembira, karena penari Cadeau tidak bisa menikah... Mereka harus sama menderita dengan Sang Dewi Kamboja yang kehilangan suaminya.

"Meneer dan Sri baru saja sampai dari Buitezorg, pembicaraan ini memerlukan pikiran yang sehat dan tidak asal terburu-buru. Tunggulah barang 1 atau 2 hari lagi. Kita akan membicarakan hal serius itu."

Henri menghela napas panjang. "Aku tahu. Ini terlalu terburu-buru."

"Mari, aku antarkan ke kamar tamu. Silahkan beristirahat." Indung Ali berdiri, dia mengulurkan tangannya.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang