Bab 14: Sayapmu milik Ibu!

79 16 5
                                    

***

Atik melemparkan benggolan-benggolan Gulden hasil kerja keras mereka ke atas meja. Bukannya senang, Atik malah menggerutu. Padahal biasanya mereka mendapat masing-masing 5 Gulden, sekarang hanya 3 Gulden saja yang diberikan per orang. Biasanya, 1 Gulden bisa untuk belanja 1 kain, atau bahan makanan beberapa hari di pasar malam musiman di Desa Walangsari. Biasanya mereka pergi sekedar untuk menyenangkan diri.

"Kenapa mereka selalu memotong upah kita," sungut Atik. "Kita bekerja dari matahari belum naik, pulang setelah mendekati matahari tenggelam… Hanya dapat segini."

"Ieu pasti lepat abdi, Bu (Ini sudah pasti salahku, Bu)." Sri tahu, mereka memotongnya karena dirinya lah yang melakukan kesalahan.

"Hhh..." Atik mengusap perutnya. Rasa nyerinya sudah sedikit berkurang. "Tapi ini lebih baik daripada kita kembali ke jalan... Bahkan daun jati kita layu dan kayu bakar yang kita cari jauh di dalam hutan juga tidak memberikan kita satu sen pun," kenang Atik.

Sri mengangguk.

Atik merapikan ikatan jariknya. Dia melihat, Sri sudah tidak lagi menangis. Walaupun, selesai makan malam, wajah gadis itu masih saja murung. Tapi Atik tidak ingin membuang waktu… Kesedihan Sri tidak akan merubah apa pun!

"Sri, malam ini… Penari-penari Cadeau itu akan tampil. Naha anjeun hoyong nonton aranjeunna? (Apakah kamu mau menonton mereka?)"

"Hm, kalau ibu sakit. Sri tidak mau nonton sendirian... Sri temani ibu tidur saja."

"Ah, kita pasti tidak akan bisa tidur. Kamu tahu sendiri suasananya sangat ramai dan berisik..." Atik mengambil benggolan-benggolan Gulden itu dan menyelipkannya di lubang bambu kaki dipan mereka. Di sana mereka menyembunyikan Gulden-Gulden mereka. "Ayo, kita nonton saja," ucap Atik.

"Tapi kondisi ibu..."

"Kamu tidak usah memperdulikan ibu." Atik mengusap rambut hitam anaknya. "Hanya satu hal yang ibu minta darimu. Anjeun kedah nurut ibu (Kamu harus menuruti ibu)."

Senyum manisnya tulus tersungging. Sri memang hanya memiliki ibunya saja di sini. "Aku akan selalu menuruti ibu," ucap Sri.

Atik mengambil lampu minyaknya, dia bergegas menuju lemari pakaian, dan memilih kebaya terbaik yang akan dikenakan Sri. Atik memilih kebaya merah.

"Sri, Ibu akan memberitahumu sesuatu..."

"Aya Naon, Bu?"

"Nanti kamu pakailah kebaya merah ini..."

Sri tidak mengerti. Kebaya merah itu adalah kebaya kesayangan ibunya. Bahkan Atik sendiri tidak pernah memakainya. "Itu kebaya milik ibu..."

"Ya, kamu pakailah."

Sri pasrah saja ketika Ibunya menyodorkan kebaya berbahan brokat murah itu. Rasanya Sri ingin sekali mempertanyakan perubahan yang terjadi kepada ibunya. Apakah Ki Sedan memukulnya begitu kuat sampai-sampai rasa sakit itu membuatnya sulit dimengerti? Tetapi Sri takut ibunya marah lagi.

"Sri, ibu sudah mengembalikan Condroso itu. Condroso itu memang milik salah satu penari Cadeau."

Sri berbinar. "Ah, syukurlah. Sri bungah nalika anjeun balik Condroso." (Sri senang ibu mengembalikan Condroso itu)."

"Satu hal, Sri. Bukankah Ibu selalu mengatakan kepadamu, kamu harus memiliki keinginan kuat untuk merubah nasibmu." Nada bicara Atik perlahan tapi dia menyelipkan tekanan di sana. "Kamu harus paham, Ibu berjuang untuk mendapatkan kesempatan itu."

Lagi-lagi Sri tidak mengerti. "... Maksud ibu?"

"Ibu sudah meminta mereka, untuk menerimamu bergabung dengan Penari Cadeau itu."

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang