***
Sri mengacak pinggangnya. Dia merasa tidak nyaman, berat tubuhnya benar-benar turun drastis. Kebaya yang dikenakannya sekarang adalah ukuran yang paling kecil, itu saja sudah terlalu longgar. Tulang selangkanya begitu dalam dan gurat-gura tulang di dadanya terlihat. Tubuhnya memang terasa lebih ringan, hanya saja ... Sri merasa mudah lelah.
Sri berputar- memperhatikan bayangan fisiknyanya di kaca besar milik Nyi Popon.
"Bagaimana aku bisa menyanyi dan menari ... lamun ipis teuing? ( jika terlalu kurus?)" Sri tidak menyukai bentuk tubuhnya.
Nyi Popon menutup bukunya. "Ritual puasa memang cukup berat. Tapi setelah melewati ritual ini, kamu boleh makan sepuasnya..."
Sri menghembuskan napasnya panjang-panjang. Dia kembali duduk di samping Nyi Popon.
Tentu saja, ritual puasa 40 hari sangat berat, awalnya Sri sendiri tidak tahu bagaimana tubuhnya bertahan ... Hanya makan dua buah pisang dengan minum dua cangkir air putih. Di pertengahan saja, Sri sempat sakit- dan untungnya dia bisa melaluinya. Sri bersemangat lagi, karena sang ibu selalu mendorongnya.
"Tinggal lima hari lagi ... Abdi teu tiasa ngantosan (aku tidak sabar)."
"Teu sabar nari? (Tidak sabar untung menari?)"
"Tidak sabar untuk bebas makan, Nyi," sahut Sri dengan sinar mata bersungguh-sungguh.
Nyi Popon tertawa. "Iya, sabar ya, Sri."
"Aku baru mengerti ... mengapa jumlah penari Cadeau ini tidak terlalu banyak." Sri menutup buku, hapalan kawihan terakhirnya sebenarnya belum bagus juga.
"Hm, rata-rata memang menyerah di ritual pertama."
"Kata Ki Indung yang tersulit adalah ritual ketiga?" Sri mendekatkan wajahnya ke arah Nyi Popon. "... Nyi, bejakeun, naon ritual katilu? (Nyi beritahu aku, apakah ritual ketiga itu?)"
Nyi Popon tersenyum sambil mengusap-usap dagunya. "Ritual ketiga? Aku saja ketakutan dan menangis keras di hadapan Ki Ali. Aku sangat takut- kalau keluar darah."
Sri langsung bergidik- lagi-lagi- "Jadi ritual ketiga itu apa, Nyi?"
"Sudahlah ... jangan dipikirkan dulu. Yang penting, kamu fokus untuk menghapalkan dulu." Nyi Popon tetap tidak mau memberitahunya, dia takut Sri menyerah. "Hayu, ngamimitian deui (Ayo, mulai lagi). Bagian ini sedikit mendayu, ya?"
***
"Apakah Mereka tidak memberikan upah lagi? kenapa mereka tidak menghargai tenaga ibu?"
Sri sedih dengan sikap orang-orang di perkebunan itu.
"Iya, sejak kamu tidak bekerja. Sikap Ki Sedan dan kawan-kawannya kurang ajar sama ibu. Beberapa kali, Ki Sedan hendak memancing emosi ibu."
"Pokoknya, Ibu jangan terpancing! Jangan hiraukan mereka." Sri masih saja menyimpan kebencian kepada mandor itu. Hitam-hitam di kukunya tangannya saja masih ada, kenangan bekas Ki Sedan menginjaknya.
"Iya, ibu pura-pura saja tidak menghiraukannya. Dipikiran ibu, yang penting Sri berada di tempat yang aman."
Sri mengeratkan jalinan jari-jarinya. "Sabar, Bu. Lepas 40 hari ini ... Sri akan segera menjalani ritual kedua. Kalau Sri Lulus, ibu tidak usah bekerja lagi. Kata Ki Ali, Ibu juga boleh tinggal di sini."
"Iya, ibu yakin, Sri lulus."
"Doakan, ya, Bu." Sri merangkul manja lengan ibunya.
Atik memandangi Sri yang tampaknya lemas. Dia juga prihatin karena postur tubuh dan bobot Sri, benar-benar seperti anak berumur 10 tahun, sangat kurus.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat Sang Penari
RomanceTerhimpit kemiskinan, kelaparan dan terluntang-lantung di jalanan... Atik memutuskan untuk bergabung sebagai tenaga kerja Rodi, di sebuah perkebunan milik Tuan berdarah Netherlands. Mereka pun harus pindah ke Desa Walangsari dan tinggal di barak pek...