Bab 8: Meneer Henri & Nyi Wulan 2

128 17 5
                                    

***

Api amarah itu berkelukur, kalutnya menimba rasa berang yang besar. Henri jelas tidak terima, perempuan seperti Wulan disakiti seperti binatang!

"Wulan...." Henri gemetaran ketika mendekati gadis itu. Punggung tangannya terangkat, menyeka lelehan darah dan merapikan rambut kusut yang menutupi wajah Wulan. Dia memindai juga hawa tubuh Wulan... Terasa sangat dingin. Pelan-pelan dia mengatur emosi dengan sebaik-baiknya. Henri tahu, mental Wulan lebih kacau, dia kedinginan dan ditambah sakit yang mendera lukanya... Tidak mungkin, dia mencecarnya dengan banyak pertanyaan.

"... Meneer akan pergi besok pagi?"

Henri menelan air ludahnya, dia tidak ingin membahas masalah kepergiannya. Suara Wulan biasanya terdengar ceria. Kini, berganti dengan suara serak dan lirih yang berasak-asak menyembunyikan rasa sakitnya. Henri kebingungan... Dia tidak tahu harus melakukan apa?

"Maaf... Permisi, Meneer. Saya akan siapkan selimut dan pakaian tebal...."

Suara pelan babu, sang pelayan rumah tangga itu memecah keheningan mereka berdua.

"... Tolong, buatkan wedang jahe seperti yang biasa kamu buat."

"Baik, Meneer."

"Wulan, maaf... Aku harus menggendongmu ke kamar," bisik Henri. " Kamu harus mengeringkan tubuh dan rambutmu... Aku akan mengobati luka-lukamu."

Wulan menggangguk lemas.

.

"Habiskan wedang jahe itu. ik maak me zorgen.. Aku takut, kamu terkena hipotermia."

Wulan meneguk lagi, minuman panas itu. Rasanya memang menenangkan. Wulan merapatkan punggungnya, dia masih mendekam di ujung ranjang besar milik Meneer Henri. Beberapa baju rajut tebal pun harus dikenakannya, kakinya juga mengenakan kaos kaki berlapis-lapis... Dia sudah tidak lagi kedinginan. Susu dan Sup buatan mbok, juga sudah mengisi hangat perutnya. Tetapi... Luka-luka di tubuhnya masih terasa menghenyaknya.

Suara gumaman berat terdengar, Pria berkulit pucat itu sibuk mengeluarkan beberapa obat-obatan dari dalam kopernya. Wulan melihat beberapa tumpukan baju dan kertas sudah rapi di dalam koper hitam itu. Wulan menebak, mungkin koper itulah yang akan dibawanya besok...

"Jan berapa meneer akan pergi?"

"Om 10 uur... Mungkin sekitar pukul 10... Aku menunggu jemputan kendaraan dari Tentara Netherlands," jawab Henri. Dia masih fokus dengan botol-botol obat di tangannya.

"... Apakah Meneer tidak akan kembali?"

Henri menegakkan punggung dan memaksakan dirinya untuk tersenyum menuai senyum. "Aku pasti kembali. Walaupun tidak terlalu sering... Sedikit sibuk karena beberapa perkebunan harus aku urus. Maar... Tapi... Aku akan coba turun seminggu sekali, ke Buitenzorg," jawab Henri. Dia berusaha menjawab pertanyaan itu lebih tenang. Hatinya sebenarnya berat meninggalkan Wulan, terlebih dengan kondisinya seperti ini...

"Hati-hati...." Wulan meletakkan gelas minumannya. kalimat itu seperti terputus... Dia tidak ingin melanjutkannya...

"Hei, kamu tidak perlu mengkhawatirkan aku. Akulah yang kebingungan dengan kondisimu ini." Henri duduk dekat di depan gadis 15 tahun itu. Ranjang kayu jati itu terdengar berderit. "... Ada apa, Wulan? Wat er echt is gebeurd? (Apa yang sebenarnya terjadi?)"

Kemilap mata Wulan terpancar ketika pria dengan perawakan tinggi itu mengusap punggungnya. Wulan menaikkan bahunya, lalu menundukkan pandangannya. Jari-jari tangannya masih gemetaran memainkan buku-buku jarinya yang pucat.

Henri menghela napas panjang. "Apakah kamu tidak mau menceritakannya?" Dia segera mengambil gumpalan kecil kapas di dalam kotak obatnya dan menuangkan sedikit obat luka.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang