Bab 64: Satu Tombak?

68 22 7
                                    

***

"Meneer? Meneer mau pergi kemana?"

Sang Babu kebingungan melihat tuannya sudah berpakaian rapi. Postur tuan bermata biru itu lebih lebih tegap, dengan sinar cemerlang ... sangat berbeda ketika kemarin baru menginjakkan kakinya di rumah ini. Henri terlihat sibuk mengobrak-abrik lemari tempat penyimpanan senapan berburunya.

"Aku mau turun ke bawah, pasti perempuan gila itu sudah mengincar Sri!"

Babu ketakutan dan urung meletakkan sajian makan malam di atas meja. "Ta ... tapi Meneer rumah ini sudah dijaga ketat."

Henri tahu, tapi dia tidak mungkin berdiam diri hanya menunggu kabar nasib Sri dan lainnya. Tidak ada yang bisa dia harapkan di perkebunan ini. Entah mengapa semua berbalik memusuhinya ... seperti halnya Babu ... padahal perempuan ini sudah sangat lama bekerja kepadanya.

"Beritahu alasannya, kenapa kamu tidak memberitahu yang sebenarnya? Dari awal, kamu pasti tahu tentang hubungan Wulan dan Colin."

Perempuan berkebaya hitam itu diam.

"Tidak usah dijawab. Aku tahu alasannya, pasti karena aku orang Netherlands atau ... yang sering kalian sebut Walanda," seloroh Henri. Senapan yang dipilihnya adalah senapan semi otomatis untuk Infanteri. Satu tangannya terangkat, Henri meluruskan moncong dingin senapan itu ke arah dahi Babu.

Wajah Babu langsung pucat, bola matanya membesar dengan urat-urat merah mengelilinginya. Padahal tidak sampai lima detik senapan itu menempel di dahi, air kecingnya sudah meleleh menembus jariknya.

"Me ... Meneer ..."

"Jika aku jahat, aku tidak akan ragu mengisi peluru dan menarik pelatukku sekarang." Ujung bibir Henri terangkat, bingkai senyumnya memamerkan deretan giginya.

"Kalau kamu memang ingin berjuang demi negaramu, pergilah dari sini dan mengabdilah ... tanpa memakan upah dariku!"

Babu menelan air ludahnya, ketika senapan itu turun.

"Aku hanya mencari kesempatan dalam berdagang dan berbisnis. Urusan Pemerintah kerajaan dan negara penjajah itu bukan urusanku!"

Henri membuka peti kecil yang berisi peluru kaliber, dia segera mengisi magasine peluru-pelurunya. "... Aku bahkan membayar lebih besar daripada upah yang dianjurkan pemerintah kerajaan untuk para pekerja Rodi itu! Lalu? Dimana letak kesalahanku?"

Sesungguhnya, Henri tidak memerlukan jawaban. Susunan kata-kata itu sengaja dimuntahkannya untuk menyalurkan energi kekesalan. Baginya sudah tidak terlalu penting untuk mengetahui apa kesalahannya kepada orang-orang Pribumi ini, dan lucunya mereka hidup di atas tanah perkebunan miliknya.

"Aku sudah lama tinggal di Sidoharjo, dengan penguasaan bahasa yang cukup jelek. Setelah aku pandai berbicara dengan kalian!" Henri terus-terusan mengomel tangan dan mulutnya sama -sama bekerja keras. Dia memasukkan surat-surat yanng dianggap penting ke dalam jasnya, termasuk surat milik Sri.

"Ini adalah penyesalan terbesarku kenapa aku mau pindah kemari. Sial! Aku benci Walangsari!"

"Meneer ... aku... aku akan bantu meneer turun," ucap Babu dengan suara pelan.

"Nee! Tidak usah! Umur 14 tahun, aku pernah berperang dengan Jerman! Kami berhasil menerobos kamp para tentara-tentara itu, bahkan karena itu mereka meledakkan tempat tinggal kami. Ayah dan ibuku mati terpanggang!" pungkas Henri. "Aku tahu jumlah kalian ada 300 pekerja! Aku sama sekali tidak takut!"

Babu meneguk ludahnya. "Ki Sedan meminta Meneer Colin untuk memindahkan tentara ke bagian pos terluar."

"Aku tahu. Sejak malam itu aku menyadarinya. Tapi aku sama sekali tidak punya pikiran buruk, kalau ini akan terjadi. Untung saja aku menginap di Rumah Bedeng ketika kabut tebal!" Suara Henr meninggi, bahkan dia menjejerkan 5 Magasin yang sudah terisi penuh dengan kasar.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang