Bab 36: Tidak Takut!

98 19 8
                                    

***

Dari ujung pintu kaca, Sang Babu mengintip kedatangan kereta kuda yang berhenti di depan teras. Kereta dengan bak terbuka itu terlihat membawa banyak peti berukiran daun kecil. Perempuan kelahiran Ciamis itu bertanya-tanya, siapa gerangan tamu yang datang.

"Siapa ya, Ni?" Salah satu pelayan mendekatinya dan ikut mengintip ke luar.

"Tidak tahu, kalau Meneer Henri selalu bawa koper bukan peti Jati seperti itu."

Tak lama, Sado dengan dua kuda menyusul berhenti di belakang kereta barang itu. Sado itu membawa tamu, satu perempuan berkerudung dan laki-laki berkulit pucat.

"Meneer Colin dan... Nyi Wulan..."

"Apakah artinya Nyi Wulan akan pindah ke rumah Meneer Henri?"

Mereka berdua pun saling berpandang-pandangan, dan bergegas keluar untuk menyambut keduanya.

Pria berseragam hijau itu turun lebih dulu dari kereta. Dia merapikan letak topi Kepinya, sebelum mengulurkan tangannya. Wulan tersenyum simpul, menyambut tangan Colin. Perempuan berkebaya Nila itu menunduk dan menurunkan satu kakinya. Colin menarik fokus mata cokelatnya ke arah belahan dada dan jarik Wulan yang tersingkap. Tentu dia tidak akan melepaskan kesempatan untuk mengintip kemolekan tubuh Wulan.

"Jaga matamu," bisik Wulan menegur. Dia menepukkan punggung tangannya ke pipi Pria tinggi itu.

Colin tertawa kecil menerima tepukan halus itu. "Perempuan cantik harus dikagumi." Dengan sigap dia menangkap tangan Wulan.

"... Jangan memancing perhatian orang! Nanti kita dijadikan tontonan orang yang bekerja di sini," pungkas Wulan sedikit merengut.

Colin meremas jemari Wulan. "Tidak masalah. Semua pria pasti akan melakukan hal yang sama jika duduk bersamamu."

Wulan memincingkan matanya dan cepat-cepat menarik tangannya, ketika melihat kedua pelayan mendekatinya.

"Nyi Wulan... Meneer Colin... Selamat datang," sapa Babu. "Dupi ieu sadayana kagungan Nyi Wulan? (Apakah ini semua barang-barang Nyi Wulan?)"

"Iya, Tapi hari ini aku hanya menaruh barang-barangku dulu, sambil menunggu urusanku di bawah selesai."

Sang Babu pun mengangguk, dia segera berbisik kepada pelayan perempuan yang mengikutinya. Pelayan itu mengangguk dan segera turun dari teras untuk memanggil orang.

"Hayu, Silahkan, Nyi. Abdi badé nyiapkeun sarapan (Saya akan menyiapkan sarapan)."

"Tidak usah repot-repot. Aku minta kopi hitam saja," pinta Wulan, dia menarik sebuah peti kecil dari bawah kursi kereta.

"Baik, Nyi. Bagaimana dengan Meneer Colin?"

"Aku sudah sarapan, tapi aku juga tidak keberatan untuk secangkir kopi." Colin mengulurkan tangannya ke arah Wulan yang sedikit kewalahan menarik peti kayu jati itu. "Biar aku saja yang membawanya..."

"Kalau begitu, saya akan siapkan di ruang tamu."

"Di mana kalian akan menaruh barang-barangku?"

Babu itu diam sejenak. Dia ingat, Meneer Henri pernah memberitahunya kalau Nyi Wulan akan pindah kemari. Tetapi tuan Walanda-nya tidak pernah memintanya untuk menyiapkan kamar khusus untuk Nyi Wulan. "Mungkin di kamar utama saja, Nyi."

"Baiklah, bawa kopi kami ke balkon kamar utama." Wulan mengibaskan kipasnya ke depan dadanya.

"Eh... Baik..." Sang Babu kebingungan. Bola matanya berguling mengikuti langkah Nyi Wulan yang naik ke atas teras, sedang sahabat Meneer Henri itu mengikutinya di belakang. "Apakah tidak apa-apa?" tanyanya pada diri sendiri. Kamar utama adalah tempat istirahat khusus untuk pemilik rumah, yaitu Meneer Henri.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang