Bab 71: Iri

89 20 6
                                    

***

"Oh? Rupanya kamu juga ingin merasakan tubuh Sri?" Wulan berwajah masam, memincingkan matanya.

"Naon, Nyi? Kenapa nada bicaramu ketus sekali? Apa artinya kamu tidak mengijinkanku? Anjeun jalma timburu (Kamu ini memang seorang pencemburu)." Ki Sedan kembali menggoda Wulan. Asap yang dihirupnya, perlahan dibumbungkannya tinggi, dia senang melihat wajah perempuan itu bergulat dengan emosinya.

"Menjijikkan! Ternyata kakek tua ini juga bernafsu dengan tubuh anak ingusan!" pungkas Wulan.

"Wah, sepertinya benar … kamu ini cemburu dengan Sri yang lebih muda dan menarik."

"Tidak! Aku ini lebih baik dari pelacur cilik itu. bahkan seorang raja sesungguhnya sudah mengakuinya." Wulan menghempaskan kain kompresnya ke atas kursi, dia berdiri lalu melemparkan tatapannya kembali ke tengah halaman.

“Ki Sedan, kau tak perlu memungkiri, kalau kamu pun sedang termakan guna-guna yang tertanam pada tubuh Sri, bukan?” Wulan tertawa meskipun tawar. Baginya pemandangan Meneer Henri dan Sri saling berangkulan …  memantak rasa gering yang lebih dalam. Dadanya sangat sakit.

Ki Sedan menggerakkan bola matanya, mengamati perempuan yang berdiri itu membucahkan aura kemarahannya. "Aku bisa melihat, kamu memang tidak mau tersaingi oleh Sri."

"Diamlah! Kamu ini cerewet sekali! Silahkah saja kalau kamu mau pakai pelacur kecil itu!"

Ki Sedan terkekeh, dia menepuk bokong Wulan dengan gemas. "Aku sudah membantumu bersikaplah lebih baik."

Garis wajah Wulan bertambah ketus.

"Apakah kamu memerlukan ini?" Ki Sedan mengangkat pecut kulit miliknya.

***

Padahal malam itu sangat cerah. Tanpa tahu, sang penanda waktu berdetik menunjukkan tenggat malam … dari angin dan kabut yang turun, jelas sekali Desa Walangsari sedang memasuki pertengahan malam. Seharusnya mereka bersiap untuk tidur dan bangun lebih segar keesokan harinya. Biasanya para pekerja-pekerja ini bekerja keras di siang hari. Tanaman musim kemarau berupa Cokelat, tembakau dan kopi seharusnya disiram dengan air yang lebih banyak. Tetapi … tidak ada lagi kegiatan seperti itu, mereka semua mengabaikannya.

Sri masih terisak-isak, meratapi tubuh ibunya masih tergeletak seperti mati di depan pagar halaman. Meskipun … dia harus bersyukur, walau disiksa sedemikian rupa, ibunya masih terlihat bernapas. Beda halnya dengan tubuh … Ki Ali. Sri melihat sendiri, pria baik hati itu tidak bernyawa lagi, karena badik tertancap di kepalanya. Lalu, beberapa mayat yang dikumpulkan … Sri sendiri tidak berani mengenalinya, tetapi ada tusuk gelung yang terjatuh … Sri tahu… itu milik Penari Cadeau.

Sri pun merasa, dirinyalah yang bertanggung jawab dengan musibah ini ….

"Ini semua adalah salahku …."

"Bukan, Sri. Ini bukan salahmu." Henri  masih menenangkan Sri. Wajah perempuan kuyu benar-benar berhiaskan kepiluan. Air matanya seakan tidak berhenti mengalir.

"Se- seandainya aku tidak naik panggung malam itu …."

"Sri… ini bukan salahmu!" Henri tidak perduli dengan para penjaga yang menodongkan senapan ke kepalanya. "… Ini semua terjadi karena ulah perempuan berhati busuk itu! Perempuan yang tidak pernah menyadari kesalahannya!"

Sri gemetaran. Tangan hangat Tuan Walanda itu merangkup jemarinya erat-erat. Sri pun tidak mengerti, kesalahan apa yang membuat Wulan tega melakukan ini. Bukankah ketika itu, Wulan sendiri yang memintanya untuk menjadi Pengantin Penari Cadeau? Bahkan Sri tidak pernah tahu, pada akhirnya Meneer Henri benar-benar naik ke atas panggung untuk menjadi Raja untuknya. Apalagi Meneer Henri lebih nyaman berada di dekatnya.

Lamat-lamat, Sri teringat akan dua tombak atas penerawangan Ki Ali. Katanya … tombak itu… kini tinggal satu. Apakah itu pertanda bahwa dia akan kehilangan seseorang … Apakah Ibunya?

Sri mengisak lagi. Dia benar-benar ingin segera memeluk tubuh ibunya dan membawanya pergi menjauh dari situasi ini. Sungguh tak terpikirkan lagi soal kesulitan hidup yang pernah mereka rasakan dulu … ternyata hidup miskin seperti itu adalah lebih baik.

"Sri?" tegur Meneer Henri. Dia menyadari perempuan 15 tahun itu melamun.

Sri mengusap air matanya. "Me … Mener … aku mengkhawatirkan ibu."

Henri tersenyum datar, dia mengusap punggung perempuan kurus itu. "Bersabarlah sedikit … bala bantuan pasti akan datang."

"Meener … aku ingin pergi dari Desa Walangsari …."

Henri pun berusaha tetap tenang, seandainya saja dia memiliki kekuatan lebih, tentu saja dia ingin membawa kekasihnya pergi secepat mungkin.

"Kita akan segera pergi dari sini dan aku sudah berjanji kepadamu … kita memulai hidup baru. Jangan khawatir."

"Oh, sejoli yang romantis. Maaf, aku harus menganggu kemesraan kalian!"

Suara tinggi itu mengusik.

Para penjaga yang jadinya berdiri dekat, kini beranjak menjauh. henri mengangkat matanya … langkah kaki itu, menimbulkan pergulatan berkecamuk di dalam jiwanya. Dia mengakui mulai ketakutan, apalagi gemetar pada tubuh Sri seakan menularinya.

"Bagaimana rasanya menjadi lemah dan tak berdaya, Tuan Walanda?" ucapnya seraya meludah. Wulan berdiri tegak dengan tatapan kebencian.

Henri mengeraskan rahangnya. Sebenarnya dia tidak ingin berbicara dengan perempuan gila ini. "Wulan Sari … apa yang kamu lakukan?"

"Apa yang aku lakukan?" Wulan tertawa. Jari lentiknya terangkat, seraya memamerkan badik yang dibawanya. Rasa panas di dalam dadanya sudah mendidih. "Bukankah dari awal kamulah yang menantangku, Henri? Kamu dan pelacur kotor inilah, penyebab kemarahanku!"

Pundak Sri sampai berjengit mendengar bentakan Wulan.

"Kenapa kamu selalu saja menyalahkan orang lain?" Henri geram.

"Sudah, aku tidak mau banyak berbicara!" Wulan memutar arah wajahnya ke arah Ki Sedan yang turut berdiri di belakang tubuhnya.

"Kalian bawa pria Walanda itu ke luar halaman rumah ini. Ikat dia dan rebahkan dia ke tanah! " Ki Sedan memerintahkan anak buahnya.

"Hei! Jangan berani kalian menyentuhku!" Henri memberontak, tentu saja dia tidak mau dipisahkan dari Sri.

"Sebaiknya kamu menurut saja. Kalau kamu melawan …. Bisa-bisa pelacur kecil ini akan aku bunuh sekarang juga!" Ancam Wulan.

"Berani kamu menyentuh Sri! Aku akan membunuhmu!" balas Henri lebih mengerasakan suaranya. Beberapa pria menarik dan menyeretnya paksa dari sisi Sri. Tentu saja … Henri melakukan perlawanan. Tetapi, dua lelaki yang bertubuh lebih pendek darinya, ternyata lebih kuat dan berhasil menggiring Henri. Pria berkulit pucat itu tetap menggeliat juga memberontak.

Sri pun hanya pasrah. Ketika Henri dipisahkan darinya … maka tidak ada lagi yang bisa melindunginya.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang