***
"Meneer Henri komt normaal niet naar dit soort plekken. (Tidak biasanya Meneer Henri mau turun ke tempat seperti ini)."
"Ik ben ook echt lui (Aku juga sebenarnya malas ...)"
Henri merapikan kancing kemejanya. "Kata babuku, pasar ini jarang ada. Daripada dia jalan kaki, sekalian aku antarkan saja."
"Oh, aku juga belum pernah kemari." Colin ikut-ikutan saja ketika Henri mengajaknya turun. "Pasar musiman ini... Apa mirip pasar malam di Batavia?"
"Ik weet het niet (Aku tidak tahu)." Henri tersenyum ketika memperhatikan tingkah sang Babunya tampak girang sekali, perempuan yang sudah 10 tahun bekerja dengannya itu, tampak berlari-lari kecil menyusuri jalan sempit di sekitar pedagang.
"Laten we eens kijken (Coba kita lihat), apa yang menarik di sini?" Henri menutup pintu kereta Sadonya.
Mereka berdua mulai berkeliling. Awalnya... Mereka berjalan santai saja, karena pasar malam itu tidak terlalu terang, hanya menggunakan obor bambu sebagai penerangannya. Tetapi lama-kelamaan, beberapa orang mulai menyadari kehadiran kedua orang asing itu, karena postur tubuh mereka yang tinggi.
"Ternyata banyak hal menarik di sini, ada kain-kain tenun berkualitas bagus, makanan tradisional, dan hasil kebun petani." Colin pun mulai tertarik mendekati beberapa lapak jualan.
Mereka pun berhenti di dekat penjual kain, yang kebetulan banyak di kerumuni orang pribumi. Melihat kehadiran kedua orang Netherlands itu, orang-orang pun langsung bubar.
"Apa tidak ada yang menarik perhatianmu, Meneer Henri?"
"Hmm..." Mimik wajah Henri sudah menunjukkan kalau dia tidak terlalu tertarik dengan apa pun.
"Ik weet... Aku tahu. Kamu hanya tertarik dengan Nyi Wulan," kelakar Colin.
Henri membalas dengan senyuman sinis. "Ja, seperti biasanya kamu paling tahu apa yang kuinginkan."
"Lihatlah, kain tenun ini cukup bagus." Collin mengambil beberapa kain yang terpajang. "... Kamu bisa menghadiahkan ini untuk Nyi Wulan.
"Si... Silahkan, Meneer," sapa sang pedagang dengan suara gugup.
"Kenapa kamu jadi ikut campur dengan urusanku?" Henri mengabaikan kain yang diulurkan oleh Colin. Sebenarnya dia lebih merasa tidak nyaman, dengan mata Pribumi yang mulai menatap mereka. Entah apakah ada maksud dari pantulan mata yang terbenam di antara kegelapan itu...
"Ayo, lah. Kamu juga harus menikmati suasana di sini."
Henri hanya mengangkat kedua tangannya saja. Dia pun meninggalkan Collin memilih berjalan ke tempat lain. Sampai masuk lebih dalam... Belum ada yang menarik perhatiannya. Tempat itu terlalu kumuh, beberapa pedagang menggelar dagangan di atas meja dan tanah. Apalagi tidak ada listrik, mereka hanya mengandalkan obor saja. Tetapi... Wajah-wajah Pribumi terpancar senang di sini, berbeda sekali ketika dia bertemu wajah Pribumi di perkebunannya.
Lalu... Henri mendengar suara pekikan ramai di sebuah tanah lapang. Terlihat, beberapa pria bertelanjang dada. Mereka berkerubung membentuk lingkaran dan mengelilingi tumpukan kayu yang dibakar.
"Apa kamu mau melihat kumpulan orang-orang itu?" Tanya Colin. Dia menangkap ketertarikan Henri.
"Hmm..." Belum sempat menjawab, Colin pun langsung menarik tangan pria bertubuh tinggi itu. Henri pasrah saja ketika tentara angkatan darat itu menggiringnya lagi.
"Ayo.... Hadu Hayam!"
"Ayo! Jago!"
"Ini, Kang! Aku pasang untuk Si Munir! ekor putih!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat Sang Penari
RomanceTerhimpit kemiskinan, kelaparan dan terluntang-lantung di jalanan... Atik memutuskan untuk bergabung sebagai tenaga kerja Rodi, di sebuah perkebunan milik Tuan berdarah Netherlands. Mereka pun harus pindah ke Desa Walangsari dan tinggal di barak pek...