Bab 57: Tak Sabar

93 21 8
                                    

***

Sri gelisah, namun wajahnya terang. Bibir merah Delima itu mengukir senyumnya manis. Iras malu-malu itu menyeruak tanpa ada keraguan lagi … Layaknya dia adalah perempuan yang sudah dewasa. Pori-porinya timbul, kepak sayap halus sang kupu-kupu secara halu lepas dari kulitnya. Setengah badannya mengelayut, masih ingin berdiam diri dalam dekapan. Sri sangat lemas.

Manik biru Henri lekap, menikmati semarai senyum manis yang tersiar. Ulas jarinya menyeka penuh afeksi, dahi lembut yang bersurai helaian rambut nan berantakan. Sentuhan itu ternyata menggiring pada kepekaan Sri, ada getaran halus yang bergidik. Sri mendesah lembut.

"… Kamu kedinginan?"

Sri tidak menjawab. Dia merapatkan dirinya lagi ke dada Henri, gestur manjanya seakan tidak ingin terpisahan dari sisa-sisa bercinta mereka.

Henri tidak keberatan. Diangkatnya tangannya, agar perempuan pemalu itu bisa menepati semua ruang di bidang dadanya. Dia tampak tak puas memandangi pipi senyum penuh Sri… Semakin dipandang, semakin menyulut denyut gejolak di dalam rongga dadanya. Belum lagi spesifik mata kelam yang melukiskan rasa kepuasan, ketika dia mengisi relung kenikmatannya.

Damai.

Satu kata itu yang tercetus di kepala Henri. Sekian hari bersama Sri, dia merasa sudah melakukan hal yang tepat. Kebuntuan hatinya sudah terbuka, pemikiran-pemikiran dangkal tentang Penari Cadeau juga sedikit dienyahkannya. Faktanya … hanya Henri seseorang lah yang memiliki Sri Kemuning.

"Mau makan sesuatu?" tanya Henri seraya menariknya selimut putih itu. Ditepuk-tepuknya lekuk polos punggung Sri. Mata biru itu melihat penanda waktu yang tergantung di dinding, mereka sudah melewati jam makan malam.

"Aku masih kenyang, Apakah Meneer mau makan?" Suara Sri terdengar serak. Dia masih di tengah pemulihan, meneer Henri benar-benar terkuras energinya.

"Kamu terlalu banyak makan cokelat." Henri tertawa kecil.

"… Hmmm ... Karena rasanya enak."

Henri menopang kepalanya. "Enak? Benar enak?" Godanya dengan mata memincing.

Sri membalas pertanyaan ambigu itu dengan satu mata, setengahnya dia memilih menyembunyikan wajahnya dari dalam selimut. "Rasa cokelatnya .…"

Henri langsung menyambar tawanya.

Sri malu ketika tawa ruah itu menyambut jawabannya. Dia baru sadar, kalau dirinyalah yang memancing nafsu berahi mereka. Tetapi di balik itu ada kebanggaan aneh. Sesungguhnya Sri begitu puas, sang tuan tidak lagi menahan keinginannya. Pria tangguh itu menunjukkan kekuatan perkasa fitrahnya.

Sri mungkin takabur, proses melayani kelelakian itu memang menghabiskan banyak tenaga, titik-titik keringatnya dan udara terasa panas. Bahkan suaranya nyaris hilang, dia tidak bisa berhenti untuk memanggil nama Meneer Henri … Tanda dia tidak sanggup bertayub lebih lama. Kemesraan mereka sangat berbeda sekali dengan naik ranjang di malam pertama. Wajar, ketika itu Meneer Henri naik panggung hanya karena manteranya.

"Kamu benar-benar sangat lucu dan lugu, Sri."

"Hehehe." Sri mengusap ujung hidungnya di dada Meneer Henri. Ada bulu cokelat tipis yang menggelitik.

Henri menciumi pucuk kepala dengan aroma wangi cendana kesukaannya, garis-garis wajahnya masih berbaur antara gairah berahi yang masih bisa dia pacakan. Tapi… Dia tidak serakus itu. Sri saja sudah menyerah dan lemas.

Henri masih kukuh dengan mimpinya. Mungkin dia adalah pria Netherlands yang cukup tua sampai tergesa-gesa untuk segera menikah. Baginya Sri melebih harapannya, Henri menganggap dirinya begitu beruntung ‘dijodohkan’ dengan Sri Kemuning.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang