Bab 9: Ibu yang membela anaknya

111 15 6
                                    

***

Suara sirine berbunyi. Para pekerja yang tadinya menyemut, segera menepati titik area pekerjaan mereka. Pukul 5 pagi, sang mentari masih menyembunyikan terangnya di balik seberang perbukitan di Gunung Salak. Kabut tebal menggulung ke bawah, menyelimuti kaki perbukitan yang berundak-undak. Semakin turun semakin tampak menari-nari di antara barisan pohon teh yang tertata rapi. Pekerja mulai mengetatkan tali ambul dan mulai memilah pucuk-pucuk teh muda. Bulir-bulir embun tampak lincah berjatuhan di ujung daun-daun, ketika jari-jari mereka memetiknya.

Sri mengigil. Sebisa mungkin dia tidak menguap lagi, tentu saja kantuknya masih bergelayut dengan asap halus yang meruap dari mulutnya. Tangan Sri bergerak lincah, tanda jari-jarinya sudah terbiasa memetik bagian-bagian daun muda itu. Sri sempat berpikir, dia mungkin saja bisa melakukannya sambil tertidur saja.

Setelah sirine berhenti, suasana kerja langsung diawali dengan kesunyian... Binatang-binatang pagi tampaknya ikut membisu. Rasa-rasanya bernapas saja bisa terdengar oleh mandor. Tak lama, Suara kasak-kusuk antara jari-jari dan batang terpotek menjadi kentara beradu dengan dingin dan rasa kantuk turut mengawal.

Tiba-tiba gemerisik langkah terdengar, beberapa Mandor dan Ki Sedan berhenti tidak jauh dari  jalanan tempat Sri memetik daun teh. Sri refleks memutar arah tubuhnya, dia memilih membelakangi mandor-mandor itu. Setiap melihat Ki Sedan, Sri refleks ketakutan. Batinnya langsung panik, dia mengira-ngira, entah apa lagi yang akan mereka lakukan dengan berbaris seperti itu.

"Dengekeun (Dengarkan), Kalian harus konsentrasi dalam bekerja! Turunkeun panon anjeun! (Tundukkan pandangan kalian!) Jangan sampai kalian berani menaikkan mata!" Teriak Ki Sedan dengan pengeras suara berbentuk corong, mungkin tidak semua pekerja bisa mendengar teriakannya.

"Anjeun ngartos! (Kalian paham!)"

Suara mandor-mandor lain pun ikut menyebarkan perintah itu. Para pekerja pun langsung menunduk, beberapa yang tidak mendengar jelas pun, otomatis ikut menunduk.

Sudah beberapa kali Atik yang mendengar perintah itu hampir di setiap pagi, dia malah merasa aneh. Atik tetap memperhatikan mereka, kebetulan kali ini jarak tempatnya bekerja, cukup jauh dari para mandor itu berdiri. Dia bisa melihat jelas, pria-pria tegap itu berdiri berbaris... Seakan-akan akan ada orang penting yang melewati jalan di tengah kebun teh itu.

Tak lama, terlihatlah dua orang penunggang kuda yang menembus kabut tebal dari arah gerbang masuk. Akhirnya Atik tahu dari mana asal suara derap kuda itu. Salah satu penunggang kuda perempuan itu terlihat jelas mengunakan kerudung hijau, untuk menutupi rupa wajahnya. Kuda mereka tunggangi melesat cepat, menembus barisan mandor-mandor itu.

"Aneh sekali. Siapa perempuan itu?" desis Atik.

"Teu anéh (Tidak aneh). Apakah kamu sudah kabar burung yang berkembang?"

Atik melirik ke arah Sopiah yang tampak sibuk memetik pucuk-pucuk teh yang tidak jauh darinya. Sopiah memang paling cepat mendapatkan kabar-kabar terbaru... Apalagi dia memang dekat dengan salah satu Mandor, yang dikenal dengan Mandor ompong karena gigi-gigi depannya sudah habis.

"Naon? Memangnya ada kabar burung apa?" Bola mata Atik masih memandangi kedua penunggang kuda yang masih belum keluar dari area perkebunan teh.

Sopiah melirik kanan dan kirinya, memastikan mandor tidak ada yang memperhatikan mereka. "Perempuan itu adalah salah satu penari Cadeau. Kabarnya dia itu khusus untuk melayani Meneer Henri," bisik Sopiah.

"... Leres? (Benarkah?)"

"Aranjeunna nyarios sapertos kitu (Kabarnya seperti itu). Penari ini dulunya hanya melayani Raja Singolasi."

"Ngan teu asup akal (Tidak masuk diakal) Kalau hidupnya enak dengan raja, kenapa dia menari dan pindah ke desa terpencil ini?" Atik tidak mengerti.

"Perang perebutan kekuasaan, Atuh... Pasukan Walanda teh kembali menang memperebutkan wilayah yang dikuasai Kerajaan Singolasi..." Sopiah melirik sekitarnya lagi. "Dan penari-penari ini diungsikan kemari... Kecap Walanda pikeun hiburan (Kata orang Walanda untuk hiburan)."

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang