Bab 68: Amarah

95 19 5
                                    

***

Kesunyian menyelimuti pohon-pohon tualang yang tumbuh subur di tengah-tengah hutan di pertengahan wilayah Desa Walangsari. Pohon yang biasanya digunakan untuk bahan rumah dan perahu itu memang tumbuh dengan besar. Obor yang masih menyala kecil itu menjatuhkan bayangan mereka lebih rapat.

Sedangkan Henri masih duduk di bawah pohon, sembari merangkul Sri. Gadis itu mulai tenang, ketakutannya pun mulai berkurang.

"Aku tidak pernah tahu kalau ... Sri punya teman laki-laki."

Edi tegang. Benar dugaannya, sikap Sri membuatnya salah paham. Tetapi ... dia lebih fokus mencoba membesarkan api obornya.

"Hehe. Kami hanya berteman ketika Sri masih di barak."

"Di barak? Jadi? Kalian ini ... semacam kawan dekat?" Henri menarik kesimpulan.

Sri mengangkat wajahnya, bola mata kelam itu membulat seakan menangkap nada tak biasa Meneer.

"Eh- eh maaf, Meneer ...." Edi berusaha bersikap tenang. "Kami tidak seperti yang Meneer pikirkan."

Henri mengeraskan rahangnya, dia mungkin tidak bijak jika membahas kecemburuannya. Sejak awal, dia memang penasaran dengan Edi. Kenapa anak buah Ki Sedan ini, sampai mau turun karena mengkhawatirkan Sri.

"Aku tahu, ini bukan saat yang tepat untuk membahas masalah ini."

"Meneer, Kang Edi sangat baik, dia seperti kakakku sendiri. Kang Edi banyak membantuku, sejak datang pertama kali datang ke Desa Walangsari." Sri menyambung penjelasan Edi.

"Oh? Benarkah?"

"Benar sekali, apa yang dikatakan Sri. Hubungan kami memang seperti kakak beradik." Edi pun setuju dengan penjelasan Sri, meskipun dia tidak bisa memungkiri perasaannya ... masih ada untuk Sri.

Henri diam. Tumpukan dedaunan yang tebal terasa begitu empuk menjadi alas duduk mereka. Sedang obor yang menyala-nyala itu mulai jelas menampakkan wajah Sri. Siluet api yang jatuh di wajahnya, menunjukkan lekuk paras manisnya. Titik sinar yang jatuh di matanya pun tampak gemerlapan. Manik mata itu mengungkap sisa genangan kesedihan. Pelan-pelan, perasaan bersalah muncul kepada perempuan muda ini.

"Aku ... sangat mengkhawatirkanmu, Sri."

"Akulah yang mengkhawatirkan meener! Apa yang terjadi? bagaimana rumah itu bisa terbakar?"

Henri melempar tatapannya ke arah Edi. "Panjang ceritanya ... Yang pasti ... ada kudeta di perkebunan, keamanan Desa Walangsari sedang terancam."

"Ku ... kudeta?" Sri tidak mengerti.

"Ada pemberontakan yang didalangi Wulan Sari dan Ki Sedan. Semua pekerja pun berbalik melawanku dan untuk menduduki Desa Walangsari," jelas Henri.

"Wulan Sari dan Ki Sedan?" Sri meneguk ludahnya. "Apakah ini karena aku?"

"Bukan ... ini bukan masalah yang disebabkan oleh kamu, Sri." Henri tidak ingin Sri merasa terlibat.

Edi menaikkan obornya. "Sejujurnya, saya tidak paham kalau kericuhan ini dikarenakan masalah asmara," pungkas Edi. "Tetapi benar, Wulan Sari begitu marah dengan kandasnya hubungannya dan Meneer Henri."

Tubuhnya Sri yang tadi bersandar di lengan Meneer Henri kini terangkat.

"Ditambah lagi dengan niat busuk Ki Sedan yang memang tidak suka dengan kekuasaan bangsa Netherlands di sini. Mereka bersatu dan menjadi Tim yang kejam."

Henri menajamkan matanya birunya. "Mereka tidak akan bisa menguasai desa buatan pemerintah Netherlands."

Edi tidak gentar dengan tatapan tajam Tuan Walanda itu.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang