Bab 10: Mengikis pesimis

73 17 8
                                    

***

Sri masih sesungukan. Cucuran air matanya menitik, beradu isaknya yang tidak mampu di tahannya. Meskipun begitu jari-jari tangannya tetap mengalap ujung-ujung rumput yang tumbuh di bawah pohon tembakau. Sekali-sekali, Sri menyeka lukisan kesedihannya dengan kain lengan baju usangnya. Pilunya masih juga belum reda.

Kalau saja Tentara-tentara Walanda itu tidak menembakkan senapannya, mungkin Ki Sedan masih menyiksa dan menginjak-injak tubuh ibunya yang sudah sekarat.

Kejadian ini mengerikan ini, sudah membuka selubung asumsi dalam pikirannya. Sri tidak lagi menganggap kalau Desa Walangsari adalah tempat yang aman. Mungkin benar, setiap harinya tersedia makanan, tempat tinggal, dan upah sebagai pembayaran yang mereka dapatkan di setiap akhir minggu. Tetapi semua itu harus juga mereka bayar mahal dengan kekejaman dan penindasan.

Sri menarik napasnya dalam-dalam. Dia selalu mengingat pesan ibunya, agar tidak menangis jika menghadapi kejadian seperti ini. Tentunya itu sangat tidak mungkin. Tidak ada yang bisa mengambarkan rasa kesedihan dan hatinya yang remuk, ketika melihat orang yang paling dicintainya di siksa seperti itu. Apalagi Sri tidak bisa melakukan apa pun. Air matanya meleleh lagi… kali ini Sri memilih untuk tidak mengusapnya, dia berusaha kembali fokus dengan cangkul kecilnya.

"Anjeun kedah janten awéwé anu luar biasa (Kamu pasti gadis luar biasa), sampai-sampai Ki Sedan mau melelang dirimu."

Kejerian perasaan Sri bereaksi, dia ketakutan dan cepat-cepat menurunkan ujung capingnya. Seseorang dengan suara serak berdiri di hadapannya, Sri juga tidak berani memandangi kedua kaki dengan sepatu hitam itu. Sri lebih memilih melanjutkan pekerjaannya membersihkan rumput di sekitar tanaman Tembakau.

"Dia masih muda, baru berumur 14 tahun. Tangtosna (Tentunya) masih lengit dan menjepit," sambung salah seorang mandor lain yang juga berdiri tidak jauh dari Sri.

Suara tawa mereka begitu mengerikan, Sri merinding. Sepertinya masalah lelang dirinya, masih juga belum selesai... Mereka masih lanjut menganggunya. Jika tidak ada hukuman, Sri ingin sekali berlari pulang, dan memilih menemani ibunya di Barak. Sri ingin merawat ibunya.

"Dia Babu rendahan dengan daki tebal, kulitnya kusam dan hitam... Dia tidak lebih mahal dari penari Cadeau. Mungkin benar kata Ki Sedan… Sekali main, 1 Gulden harga yang pantas untuk Babu ini."

Sri mulai waspada, mandor yang berada di depannya… Dia mulai berjalan memutarinya. Sri tegang, dia masih menutupi wajahnya dengan topi capingnya.

"Enya, teu kudu nempo beungeutna! (Ya, kamu tidak perlu melihat wajahnya!)" Timpal Mandor lainnya. "Benar kata Ki Sedan, lebih baik kita tiduri saja perempuan-perempuan di Barak. Gratis! Percuma kita membayar penari Cadeau.  Sebanyak-banyaknya Gulden yang kita masukkan, belum tentu penari itu memilih kita."

Tangan Sri yang menggenggam cangkul pun terhenti, sepatu bots hitam itu seakan sengaja menghalangi pekerjaannya. Mandor itu mendekatinya.

"Pulang dari kebun ini, kamu ikut aku ke barakku. Ngawula ka abdi! (Layani aku!)"

Sri lebih merunduk lagi, rasanya cekak... Rasanya begitu sulit meloloskan air ludahnya. Dia sangat ketakutan dan tidak berani mengangkat wajahnya. Sri pun memutar arah jongkoknya, dan meneruskan pekerjaannya menyiangi rumput.

"Heh! Kumaha wani anjeun malire kuring! (Berani-beraninya kamu mengabaikanku!) Dasar Sialan!" Mandor itu tidak terima dengan penolakan Sri. Dia menarik kasar caping yang dikenakan Sri.

Sri terkesiap. Sontak mata nanarnya terangkat ke arah mandor itu. Cahaya Nemanasi matahari siang itu mencatuk kedua pengelihatan. Pedih rasanya... Sri mengerjapkan sisa air matanya yang masih meleleh.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang