***
Henri mengangkat kedua tangannya, dan mengaitkan jemarinya di belakang kepalanya. Tanda menyerah, tetapi berarti dia tidak dalam ketakutan. Dalam hati Henri bersunggut! Ada kemarahan besar menyala dalam dirinya, dia tidak bisa menebak siapa yang berani menghasut dan merencanakan tindakan bodoh ini.
Pikiran Henri mengusut, lalu memunculkan nama-nama yang jadi tersangkanya. Otak Henri menyebut Meneer Hans, Sang sekretaris kerajaan Netherlands ... karena hanya orang yang memiliki jabatan tinggi saja yang berani melakukan pemberontakan di wilayah kekuasaan Netherlands.
"Ayo, cepat jalan Meneer. Kamu tinggi dan kakimu lebih panjang, kenapa kamu lambat sekali berjalan?!" bentak salah satu pria yang memegang senapan.
Henri tidak gentar ketika, ada dua orang pekerja mengarahkan senapan ke punggungnya. Siapa lagi yang berani memberikan senapan milik tentara Netherlands itu selain Meneer Hans. Satu hal, Henri tahu tidak satu pun dari mereka pandai menggunakan senjata itu. Gestur mereka malah terlihat gugup ketika jarinya dekat dengan posisi pelatuk.
"Cepatlah berjalan!" sambung pekerja lainnya, sambil mendorong punggung Henri dengan kuat.
Henri menghela napasnya, dorongan itu hampir menyebabkan dirinya terjungkal. "Sabarlah. Aku hanya 185 sentimeter, tidak setinggi yang kalian pikir," sahut Henri dengan kesal.
"Diam! Siapa yang menyuruhmu untuk menjawab!" Pria itu menaikkan tangannya lagi.
"Heh, sudah. Kita bawa dulu dia," tegur kawannya.
Padahal Henri tidak keberatan untuk berkelai. Apalagi satu lawan satu, dia pasti akan menang berkelahi, karena tubuhnya lebih besar dan tinggi. Jika sepuluh Pribumi melawan satu orang Netherlands ... Yang orang ada orang Netherlands lah yang luka-luka atau yang paling parah mati konyol!
Ketika tiba di luar perkebunan, mereka mengarahkannya ke lapangan. Henri tahu, lapangan ini yang sering dipergunakan para pekerja untuk beristirahat makan siang. Pikirannya berubah ... bukan Meneer Hans yang merencanakan ini.
Pada sebuah pondok, tempat para mandor yang sering melindungi diri mereka dari paparan sinar matahari. Telah tampak seseorang yang tidak asing di duduk di sebuah kursi, tepat di tengah-tengah pondok itu. Tentu Henri mengenal siapa pria yang berdiri di sana.
"Selamat datang, Meneer Henri yang terhormat."
"Oh ... Ki Sedan."
"Bagaimana dengan kejutannya?" Ki Sedan tertawa ketika orang asing itu menyebut namanya dengan nada rendah. Hatinya senang ketika Pria Walanda itu meneguk kekecewaan ....
"Kejutan yang cukup menarik." Henri masih menegakkan punggungnya, tangannya masih terkait di belakang kepalanya. "... Kejutan dari seorang pengkhianat."
"Pengkhianat?
Ki Sedan menyerahkan kotak sirihnya kepada anak buahnya. Lipatan daunnya sudah siap dia kunyah. "... Kami bukan pengkhianat, Tuan Besar. Kamu mulai bergerak untuk mengambil tanah kami. Bukankah kalian yang merampok kekayaan alam dan tenaga pribumi?"
"Aku kemari untuk menjalankan bisnisku! Urusan tenaga kerja yang bekerja di sini, seratus persen bukanlah urusanku!" Tentu Henri menegakkan pendapatnya sendiri. "Aku ini saudagar dan berdagang adalah pekerjaanku!"
Ki Sedan menyahuti dengan tertawa mengejek. Susuran sirihnya tak lepas dari liang mulutnya. Pria pribumi bertubuh kekar itu berdiri, sorot matanya tak gentar menantang bola mata biru itu. Dia lebih mendekatkan wajahnya.
"Aku tidak perduli, Meneer. Kami akan mengambil alih perkebunan ini. Artinya mulai sekarang ... Statusmu adalah tawanan kami."
"Mengambil alih? Kalian begitu yakin?" Henri tidak menganggap kalimat Ki Sedan itu hal yang serius. Hanya orang nekat saja yang berani!
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat Sang Penari
RomanceTerhimpit kemiskinan, kelaparan dan terluntang-lantung di jalanan... Atik memutuskan untuk bergabung sebagai tenaga kerja Rodi, di sebuah perkebunan milik Tuan berdarah Netherlands. Mereka pun harus pindah ke Desa Walangsari dan tinggal di barak pek...