Bab 49: Naik panggung

118 25 12
                                    

***

Wulan terperanjat, ketika sang Babu mengunci pintu rumah Joglo itu ... dia tidak diijinkan untuk keluar. Apa daya, tenaganya sudah habis karena  terus-terusan berteriak.

Wulan lemas menjatuhkan dirinya, dengan simbahan air nestapa.

Segala perasaannya seolah-olah layak untuk dibisukan. Wulan menyadari, apa yang dikatakan Indung Ali benar … mencintai seseorang ternyata harus seimbang dan jamak untuk menjadi manusia yang luhur.

Wulan cemas, dia segera menutup kedua telinganya rapat-rapat.

Ritme kenong itu masih mengalun.  Tabuhan benda logam itu menyuruk perih, sepertinya ada lontaran kegembiraan yang hendak dipamerkan.

Benak Wulan terus membumbungkan dendam bercampur amarah dan cemburu. Dia carut marut akan kehancurannya sendiri. Isi kepalanya sibuk membayangkan Meneer Henri akan meminang Pengantin Penari Cadeau itu! Mereka pasti akan menghabiskan malam di ranjang yang juga pernah dia tiduri!

Suara cicak berdecak keras, menebus bilik ruang tamu yang ditelan remang-remang.

Wulan mengerang keras, dia pikir hewan kecii itu mencibir dan menertawakan lukanya!

"Aku salah … Aku tahu … Aku salah. Tapi… Bukan begini caramu membalasku, Meneer Henri!" Lirihnya dalam emosi. Dia masih memegang egoisnya.

Wulan termangu. Rongga matanya tenggelam dalam rentik kesakitan. Nanar itu mengikuti pergerakan api lampu minyak di atas meja.

Pemahamannya mendarat. Segala amarahnya tentu tidak akan memperbaiki semua yang telah dilakukannya. Bahkan tadinya dia sudah yakin, niatannya sangat matang. Wulan berniat untuk membunuh Sri Kemuning malam ini. Pikirannya melumrahkan itu, seakan-akan Wulan lihai melakukan hal semacam itu.

"Oh, Gusti…"

Wulan menjatuhkan peti kecil berisi pistol dari pangkuannya. Dia melekapkan lagi nelangsanya dalam tangkup jemarinya.

***

Nyi Darsi membuka penutup buluh bambu yang diberikan Indung Ali. Isi tabung kecil itu berisi bubuk merica yang harus ditelannya. Dia melirik beberapa penari Cadeau, semuanya tampak biasa saja, kecuali Sri kemuning. Walaupun diterangi pencahayaan obor, Nyi Darsi bisa melihat mata gadis muda itu hampir lepas. Ekpresinya lucu setelah membaui isi buluh bambu tersebut.

"… la… lada?"

"Biar suaramu bersih dan keras," sahut Nyi Darsi.

Sri menggelugut, dia ingat betapa menyakitkannya bubuk pedas itu menyeruak ke pernapasannya. Belum lagi air matanyanya juga ikut-ikutan pedas. Sri enggan kembali mengingat ritualnya.

"Sri, kamu ingat mantra pengasih yang aku ajarkan?" Nyi Minah bertanya.

Sri mengangguk. Dia memilih menjawab dahulu pertanyaan Nyi Minah, daripada menelan bubuk lada itu. Padahal dia sudah membuka kulup penutup buluh bambu itu.

"Bacalah sebelum kamu menginjakkan kaki ke atas panggung," sambung Nyi Jujun.

Sri mengangguk.

Para penari Cadeau, dibekali mantra yang diucapkan sendiri. Mantra itu semacam perintah batin pengasihan atau pamelet untuk meminta sang leluhur merasuki tubuh mereka, dan membuat penari disenangi oleh penonton yang hadir. Makanya ... terkadang ada penonton pria yang tergila-gila kepada seorang penari, dia akan mengamuk di panggung karena kecewa setengah mati. Mantra Jangjawokan itu menggunakan buhun atau bahasa kuno yang tidak diketahui lagi arti pengucapannya. Menurut Indung Ali semakin tidak dipahami arti mantra-mantra itu, maka kekeramatannya akan semakin dirasakan.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang