Bab 20: Semaput

113 19 6
                                    

***

"Sri! Sri!"

Suara itu samar-samar menghatup kesadarannya. Semakin lama, suara itu semakin jelas terdengar... Namun Sri tetap limbung, kesadaran seperti terkunci oleh cakupan kelopak matanya mengerat.

"Sri, naon? Hayu, sadar!"

Ada sentuhan dingin menyentuh, yang perlahan-lahan menyadarkannya akan rasa segar di permukaan kulit wajahnya. Sri mengerjap, dia masih berusaha keras membuka matanya. Ternyata Roron lah yang mengusap-usap wajahnya dengan kain basah.

"R- ron?" Sri memanggil lemas, dia tidak tahu apa yang terjadi. Kepalanya berada di pangkuan Ronron.

"Sudah sadar, Ki." Lapor Roron kepada sang Mandor.

Man … Mandor? Mendengar itu, sontak Sri terbangun dari pangkuan Roron. Dia berusaha berdiri walaupun sempoyongan.

"Sri?" Perempuan keturunan Jawa Tengah tampak kebingungan, melihat Sri bangun begitu saja.

Sri menelan ludahnya, tentu saja rasanya terlalu seret. Dia menyadari beberapa pekerjaan memandanginya dengan tatapan dingin. Sri pun menunduk, dia tahu… Lagi-lagi dia berulah.

"Kamu pingsan, Sri," ucap Roron. Dia langsung memunguti biji kopi hasil petikan Sri yang berantakan.

Sri terkejut. Pingsan?

"Ah, Maaf!" Sri segera menunduk dan memunguti biji-biji kopinya. "Biar aku saja..."

"Kamu ini kenapa, Sri? Kamu selalu saja ceroboh," ucap Roron ketus. Dia berdiri, seraya membersihkan bokongnya.

"Hehe, Maaf. Aku memang sedikit tidak enak badan."

"Jangan begini terus. Apa kamu sengaja menarik perhatian orang-orang?"

Sri memutar arah matanya, entah mengapa kawannya tiba-tiba berubah. "Aku... Tidak berniat seperti itu."

Sri menangkap rasa kesal Roron. Padahal Roron tidak pernah seperti ini sebelumnya. Tapi Sri sadar, siapa yang tidak kesal melindungi kawan yang selalu saja menyusahkan.

"Ya, selesaikan sendiri!" Roron langsung melengos pergi.

Sri diam. Dia kembali memungut dan membersihkan beberapa buah kopi merah itu. Untungnya tidak ada yang rusak atau terinjak.

"Apa kamu baik-baik saja?" Seorang Mandor mendekatinya.

"I... Iya, Ki." Sri langsung menegakkan tubuhnya.

"Cepatlah selesaikan, sebelum Ki Sedan datang," ucap Mandor muda itu. "Aku tidak mau ada keributan di sini.  Karena akan menganggu pekerja yang lain. Tolong mengertilah!"

Untungnya, suara mandor itu cukup tenang di telinga Sri. Sri beruntung. "Ki, terima kasih. Aku akan segera melanjutkan pekerjaanku.

Sri berdiri... Dan kepalanya masih terasa tidak enak. "Oh, ini baru hari pertama puasa ... bagaimana jika 40 hari?"

Tentu rasa khawatirnya muncul, jika terus-terusan seperti ini, sudah pasti dia akan gagal. Sri paham maksud ibunya semalam… Kondisinya tidak baik, kurang makan minum dan harus bekerja keras... Sudah jelas, dia pasti akan pingsan lagi...

***

Suara Sirine berbunyi. Tanda mereka harus pergi bergegas ke sungai untuk mengambil air menyirami untuk tanaman. Sri benar-benar sudah lemas, dia berusaha meraba-raba saja kemana di berjalan. Pandangannya tidak jelas, seakan banyak kunang-kunang berkeliaran di antara kelopaknya, telapak kakinya pun mulai tidak terasa lagi. Sri mulai sempoyongan.

"Sri?"

Suara pria terdengar. Sri merasa pria itu sudah menangkap tubuhnya.

"Sri? Dupi anjeun gering? (Kamu sakit?)"

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang