Bab 52: Gundik?

166 27 22
                                    

***

Rumpun-rumpun bambu yang rapat, bergoyang sesak tertiup angin. Dari sela-sela daunnya, terdengar gemerisik dari gerakan si tupai yang lincah.

Sekian lama, bibir itu tak bersuara. Wulan menyandarkan tubuhnya hingga kursi bambu yang didudukinya berderit. Diam itu kemudian dipecahkannya dengan suara desah yang panjang. Keresahan Wulan terus mengeram dalam jiwanya. Suasana damai di sekitar, tidak jua merundukkan hati wulan yang terus merutukk nasibnya.

"Tidak usah menutup-nutupi apa pun, aku tahu Meneer Henri sudah tidur dengan perempuan sialan itu!"

Colin yang bersandar di depan tiang penyangga rumah Jonglo itu hanya diam. Dia melirik sedikit ke arah beberapa tentara yang siaga di bagian halaman rumah sederhana itu. Hari ini, Colin kembali datang dan mencoba menyadarkan Wulan ... membujuk agak perempuan cantik ini ikut pergi dari Desa Walangsari. Mereka harus menepati kesepakatan yang dititahkan Meneer Henri. Namun, keras kepala wulan Asih melebihi batu cadas yang teronggok di jalan.

"Berhentilah untuk mengurusi Meneer Henri. Bukankah kamu tidak mencintainya, Wulan?"

Wulan menyengir pahit. "Meneer Henri mencintaiku, dia akan memberikan segalanya untukku!"

"Nee! Tidak usah mencari masalah! Meneer Henri sudah memberikan kesempatan! Kita harus pergi dari sini!" Colin masih berusaha berbicara dengan suara pelan. "Jika dia mencintaimu, tidak mungkin dia mengurungmu di sini!"

Wulan memejamkan matanya, perihnya begitu menyayat. Apa yang dikatakan Colin benar. Bahkan selama di rumah ini. Tak satu kali pun Meneer Henri tidak pernah menjenguknya! Pernah satu kali dia bertanya kepada Babu. Si Babu pun tidak tahu alasan Meneer Henri tak datang.

"Dia akan mengunjungiku! Meneer Henri mencintaiku! Penari-penari Cadeau itu bisa keluar dari dalam penjara hanya karena diriku! Mereka semua berhutang budi kepadaku!"

Bola mata Colin merayapi Wulan dengan penuh simpatik. Colin pun merasa bersalah atas pengkhianatan yang dia lakukan.

Dulu perempuan ini sangat cantik, rapi, surai gelungannya pun mengkilap, tidak ada anak rambut yang berjatuhan atau kusut. Walaupun kulitnya eksotis kecokelatan, dan sangat wangi. Aroma bunga seakan bernapas dari pori-pori kulitnya. Gestur tubuhnya pun sangat angun dan tanpa cela. Tadinya Colin berpikir, Wulan memang sangat cocok menjadi seorang istri penjabat tinggi dengan tutur katanya yang sopan ... Kini semua itu langsung tenggelam dalam kekecewaannya.

"Sekali lagi, aku mengingatkamu, waktu kita tidak banyak!"

Wulan bergeming.

"Penting untuk kamu pahami, makin keras kamu menerima, makin berat beban batin yang menekan jiwamu. Lebih baik kamu terima saja semuanya dengan perasaan ringan dan manfaatkan waktu hidupmu untuk memperbaiki diri."

"Jangan mengguruiku!"

Wulan jelas tidak suka dengan nasehat Colin. Pria yang berbicara dengan logat Walanda itu terdengar seperti menusukkan besi-besi tajam di kepalanya. Kepalanya sangat sakit.

"Mengapa kamu terus-terusan mengelak atas kesalahanmu sendiri? Apalagi tetap berdiri dengan keras kepalamu ... Sikapmu akan membuat bebanmu menjadi jauh lebih berat dan membuat batinmu lebih menderita," sambung Colin.

"Aku bilang jangan mengguruiku! Kamu tidak tahu rasanya dikorbankan demi kepentingan orang lain!"

Wulan berdiri, dia mengambil cangkir kopi di atas meja dan melemparkannya ke arah Colin. Colin tidak mengelak, dia membiarkan saja cairan kopi dingin itu mengotori seragamnya.

"Apa pun alasanmu, kita harus mengakui pengkhianatan yang kita lakukan." Colin tersenyum, dia menepis bagian seragamnya yang terkena cairan. Hanya itu saja batas kemarahan Wulan. Sekalipun Wulan memukulinya, tenaga seorang perempuan seperti Wulan tidak akan sanggup membunuh.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang