Bab 37: Atik dan Meneer Henri?

126 20 7
                                    

***

"A... Aya naon, Bu? (A... Apa yang terjadi, Bu?)"

Sri terkaget-kaget, ibunya pulang dengan kondisi wajah memar-memar. Walaupun begitu, bukan ekspresi kesakitan yang ditampakkannya, sang ibu malah terlihat santai.

"Ah, tidak apa-apa," jawab Atik sambil menarik maju kursinya.

Sri tetap saja panik. "Antosan sakedap, Bu. (Tunggu sebentar, Bu). Aku akan minta obat dulu dalam." Sri segera berlari ke dalam ruangan tengah.

Atik menempelkan punggungnya pada sandaran kursi. Dipandanginya saja, langkah Sri yang buru-buru.

"Naon, Ni?" Indung Ali yang tadinya duduk santai di bawah pohon Lamtoro juga terkejut melihat kondisi Ibu dari Sri Kemuning itu. "Apa mereka tidak mengijinkanmu keluar dari serikat kerja Rodi?"

"Awalnya begitu." Sri mengeluarkan selembar surat dari selipan Stangennya. "Minggu hareup, kuring moal damel di dinya deui (Minggu depan, aku sudah tidak bekerja di sana). Aku sudah mendapatkan Verklaring van Ingezetenschap milikku."

"Itu berita yang bagus." Indung Ali tersenyum datar. "Apa ada cerita menarik di balik luka-lukamu ini?"

"Luka-luka Ini tidak terlalu penting. Ini adalah bukti, aku berani menanggung kesakitanku..."

"Berani menanggung kesakitan... Salami teu kalakuan bodo (Selama kamu tidak bersikap bodoh)." Indung Ali ingat sekali beberapa waktu yang lalu. Atik seperti kerasukan setan. Dia marah dan memukuli kepala seorang pemuda sampai bocor. Indung Ali menilai Atik adalah orang yang memiliki emosi besar.

Ati melipat surat di tangannya. "Ah, aku tidak pernah merasa melakukan kebodohan."

Indung Ali hanya menghela napas. "Lihat, kamu cukup keras kepala, Ni."

"Kali ini, aku cukup cerdas, aku tahu akan mendapatkan hasil yang luar biasa." Ujung pengelihatan Atik tidak membidas sorot kecurigaan sang pemimpin Kelompok penari itu. Dia mengakui dirinya cukup keras kepala, tetapi ini adalah cara untuk bertahan dan mengubah jalan hidupnya.

"Apapun itu, aku harap tidak membawa keburukan untuk penari Cadeau," ucap Induk Ali menaiki tangga teras. Dia mengeluarkan rokok lintingan dari kotaknya. "Abdi ngan ukur terang Sri sareng indungna jalma anu bageur. (Aku hanya tahu Sri dan ibunya adalah orang yang baik)."

Atik menarik kursi di sebelahnya, tanda bahwa atik ingin berbicara. "... Aku malah ingin meminta pertolonganmu, Ki Ali."

"Pertolonganku? Naon?" Indung Ali memindai mimik serius dari Atik.

"Ini tentang Raja yang akan dipilih oleh Sri..."

Indung Ali menaikkan alisnya. Akhirnya dia pun tertarik dan duduk di samping Atik. "Meneer Henri?"

Atik mengambil satu rokok linting dari kotak kecil yang dipegang Ki Ali. "Apa keuntungannya jika Meneer Henri memilih Sri?"

Induk Ali bergeming. Dia tidak ingin terbuka terlalu banyak dengan Atik. Apalagi dia tidak terlalu lama mengenal Perempuan ini... Tidak ada yang istimewa dalam kisah hidupnya, Atik hanyalah perempuan yang dirudapaksa dan memiliki anak bernama Sri Kemuning.

"... Karena kamu pintar, aku rasa kamu paham apa keuntungan Sang Raja jika memilih pengantin Penari Cadeau." Indung Ali menyalakan pematiknya, untuk menyulut rokok Atik.

"Kekayaan? Kehormatan?"

"Keuntungannya sangat banyak... Itulah mengapa Sang Raja Singolasi tidak mau melepas Nyi Wulan..." Indung Ali tersenyum datar. "Tapi Sang raja melakukan kebodohan..."

Atik mengisap bara rokoknya. Dia pun terbatuk-batuk, karena tembakau dan cengkeh itu terasa pedas.... "O... Oh? Apakah itu?" Atik mengibas-ngibaskan tangannya.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang