Bab 66: Bergegas

72 20 7
                                    

***

Semburat kelam, mencuat dari kelopak matanya. Indra penciumannya mulai mengendus perubahan warna malam. Seharusnya, mereka belum memasuki   waktu di mana sang arunika.

Perasaannya gundah, ketika jam sakunya menetapkan kepastian. Kemudian wajahnya terangkat— pupilnya membara menangkap pantulan api besar dari di sela-sela pohon besar sekitarnya.

"Semuanya berhenti!" Ki Sedan mengangkat tangannya sembari menarik tali kekang kudanya.

Rombongan yang mengiringinya pun turut terhenti, termasuk Wulan.

"Ada apa, Ki?"

Ki Sedan tak menjawab, dia membiarkan semuanya menyadari apa yang tengah terjadi di sekitar.

"Kebakaran?" Wulan belum menyakinkan apa yang dilihatnya.

"Hei, coba kamu periksa ke atas! Periksa apakah yang terbakar itu adalah rumah Si Tuan Walanda?!"

"Ba- baik, Ki Sedan." Salah satu anak buah Ki Sedan menarik tali kekang.

"Pastikan juga dia sudah mati atau belum!"

"Baik, Ki." Pria muda itu memundurkan langkahnya.

"Benarkan rumah Meneer Henri kebakaran?" Wulan kebingungan

"Sepertinya. Tiada lain bangunan lain di sana. Bukankah Bangunan yang paling tinggi di Desa Walangsari yang hanyalah rumah mewah itu!"

Raut Wulan langsung berubah. Ada rasa mengelugut di dadanya. Walaupun dia menginginkan Meneer Henri menderita, kenyataannya rasa sedih itu muncul … jejak pria Walanda itu masih ada di hatinya.

"Lalu— bagaimana, Ki? Apa kita melanjutkan rencana pergi ke rumah Bedeng?" tanya salah seorang anak buah Ki Sedan.

Ki Sedan diam. Isi kepalanya mulai menebak-nebak. Siapa lagi yang berani membakar rumah itu, selain Meneer Henri. Pria bengis itu mulai sadar, rupanya pria berdarah Walanda itu cukup cerdik.

"Kita tetap menuju ke rumah bedeng ... kalaupun Meneer Henri berhasil melarikan diri dari rumahnya, dia pasti ke rumah Bedeng …  memastikan kekasihnya aman."

Manik mata Wulan menajam, dia tidak suka dengan ucapan Ki Sedan.

"Tidak usah berwajah seperti itu, Wulan! Kenyataannya tuan itu sudah berpaling! Dia tidak menyukaimu!" Respons Ki Sedan atas tatapan Wulan. "Lagi pula jika rumah itu hangus terbakar, kami tidak akan dapat apa-apa."

"Aku tidak tahu. Bukankah Ki Sedan sendiri yang mengatur rencana?"

Ki Sedan menggulung tali kekang di tangannya, dia bersiap untuk bergegas.

"Penari-penari Cadeau di rumah Bedeng itu menyimpan banyak harta dan perhiasan pemberian dari para Raja "

Wulan mencoba melelehkan kekesalan yang terpancar pada muka sang Mandor perkebunan itu. "Penari Cadeau sangat kaya raya. Tidak usah mengkhawatirkan masalah harta."

"Benarkah?" Ki Sedan berdengus.

"Rumah itu terbakar, tapi bukankah perkebunan dan lumbung tempat penyimpanan hasil panen masih cukup untuk membangun tempat baru."

"Kamu tahu ... yang aku khawatirkan saat ini adalah kaburnya Meneer Henri. Dia adalah kunci untuk keselamatan kita! Dia adalah sandera kita!"

"Ya, aku yakin dia pasti ke rumah Bedeng. Kita harus memegang Sri, sebelum Meneer Henri datang."

***

Huacing!

Sri mengigil. Tiba-tiba saja ada yang merayap dari tengkuknya, meninggalkan rasa tidak nyaman.

"Kamu tidak apa-apa, Sri?" Atik memperhatikan Sri menaikkan bahunya. "Kamu sakit?"

"Ti- tidak … aku tidak apa-apa, Bu. Hanya merasa tak enak saja." Sri mengusap sisa air matanya. Dia masih mewawas pandangannya ke ujung langit yang kemerahan. Pikirannya teraduk-aduk dan terus memikirkan nasib Meneer Henri.

"Ibu tahu, pasti kamu memikirkan Meneer Henri."

Sri menganggukkan kepalanya. Tentu saja dia khawatir.

"Sri, ayo, duduk di sini saja." Nyi Darsi menepuk-nepuk kursi di sampingnya.

"Iya, jangan terus-terusan kamu tatap rumah yang terbakaran itu. Duduklah dan tenangkan dirimu," sambung Nyi Sinar. "Kita semua tidak tahu apa yang sedang terjadi di Desa Walangsari. Semoga kita semua dilindungi penguasa langit dan bumi."

Kemudian ruangan tengah tempat mereka berkumpul tiba-tiba hening. Lampu minyak yang berada di tengah ruangan itu bergerak-gerak, karena tertiup angin dari lubang angin. Lukisan besar itu masih di sana, terpajang lebih tinggi dari kepala mereka. Lukisan sang Dewi Kamboja dengan lenggok tubuh yang sempurna tersirat jelas. Namun, mereka yang berada di dalam ruangan itu tahu, kalau ada kesedihan mendalam pada tarian itu. Hikayat sang penari tercipta, karena balas dendam sang kekasih telah pergi selamanya. Dari dendam itulah muncul—  makna dari penari Cadeau.

Sri meneguk salivanya.

"Kita duduk saja sambil menunggu kabar baik. Hanya itu yang bisa kita lakukan."

Atik merangkul Sri.

Sri hanya mengangguk pelan. Sekali lagi, matanya ke arah kobaran api itu, dari depan jendela. Sri sangat percaya kalau Meneer Henri selamat ... dia baik-baik saja.

"Tapi … aku akan menunggu Meneer Henri di teras saja."

Jawaban itu membuat ekspresi semua yang berada di ruangan tengah itu protes.

"Aduh, anak ini! " Atik menaikkan tangannya dan hampir menepuk jidat Sri.

"Kita harus menuruti perintah Ki Ali, dia adalah Indung kita," ucap Nyi Jujun menegur sikap Sri yang keras kepala. Perempuan berkebaya merah hati itu sampai mendekati Sri.

"Sri, kami paham kamu jatuh hati dengan tuan Walanda itu, tapi kita ini tetap harus patuh," sambung Nyi Naimah. "Tenanglah, jika bernasib baik, kekasihmu akan datang tanpa kekurangan apa pun. Meneer Henri pasti akan segera menemuimu."

Lagi-lagi, Sri setuju dengan kalimat itu.  Tapi ... bagaimana jika tidak ada nasib baik? Bagaimana jika Meneer Henri terluka atau bahkan terbunuh dalam kebakaran itu?

Sri tidak bisa membayangkannya, padahal dia baru saja menikmati masa-masa indah dengan pria yang mulai mengambil hatinya.

Tiba-tiba, Ki Ali terpogoh-pogoh menuju pintu ruang tengah itu. Sri dan Atik saling berpandang-pandangan. Sebelum pemimpin grup tari itu mengetuk pintu, Sri segera membukakannya.

Wajah Ki Ali yang serius, membuat Penari-penari Cadeau itu lebih tegang.

"Ayo keluar! Kalian harus pergi! Ada penjaga yang akan menuntun kalian ke arah hutan gunung salak."

Para penari langsung bertatapan.

"Be … Benarkah, Ki?" Nyi Popon melebarkan bola matanya. "Apakah ini artinya sangat genting?"

"Ada yang melaporkan, kalau rombongan Ki Sedan sedang kemari!" Ki Ali menoleh ke belakang punggungnya, dia memindai beberapa penjaganya yang sedang berkumpul di depan pagar rumah Bedeng itu.

"Ayo, bersiaplah."

Sri kejat, tetapi dia lebih khawatir dengan Meneer Henri. "Bagaimana dengan Meneer Henri? Bagaimana jika dia kemari?"

"Aku tidak memikirkan itu, Sri. Tugasku ada menyelamatkan kalian. Keliatannya Desa Walangsari sudah dikuasai oleh pribumi. Keadaan tidak aman. "

"Bukankah bagus pribumi bisa mengambil alih tanah sendiri," ucap Atik.

"Untuk kali ini, aku tidak mempercayai orang pribumi,l!" jawab Ki Ali. "Aku rasa Ni Atik bisa melihat ... kalau Ki Sedan itu adalah ancaman untukmu? Bukankah mandor itu beberapa kali menyiksamu?"

Atik melirik Sri.

"Dengan mayat yang terpotong-potong di pinggir sungai itu! Jelas mereka sangat sadis, aku menganggap Ki Sedan dan anak buahnya adalah ancaman." Sergah Indung Ali.

***

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang