Bab 7: Meneer Henri & Nyi Wulan 1

155 20 17
                                    

***

Sela-sela gerigi berbahan perak itu, melingsir halus setiap helai rambutnya. Gerai tebal dan lurus berkilauan, selaras rupa sehitam malam. Surai itu meruntai bak keindahan bunga mayang. Raksi bunga cempaka terhidu lekat ingatan dengan aroma segar. Niscaya hati tiada rela mengakhiri cengkrama sang dendam berahi.

Mata biru Henri mengerjap. Indra pengelihatannya merekat, tak ingin melempaskan tatapannya kepada sosok mahluk cantik itu.

"Wulan, kenapa kamu harus pergi lagi?" Henri mengusap rambut pirangnya yang merembah peluh.

Dari cermin meja rias, Wulan melantik ujung indra pengelihatannya. Tangannya yang sedari tadi sibuk merapikan rambutnya, lantas terhenti. "Tidak enak sama Indung Ali." Wulan meletakkan sisir peraknya.

Henri menyangga kepalanya seraya berdengus. Dipandanginya  ranjang yang berantakan. Jejak aroma panas mereka masih tertinggal di sana... Sampai-sampai sprai dan selimut putihnya yang terjuntai ke lantai. Jam besar di atas meja kaca rias itu, menunjukkan pukul 4 pagi.

"Langit masih gelap, hawa di luar tentunya masih berkabut dan sangat dingin. Berbaringlah di sini sebentar lagi." Henri menepuk-nepuk kasurnya, memberi kode kepada Wulan. "... Kita masih punya waktu."

Wulan menyunggingkan senyumnya. Godaan itu memang begitu sayang dilewatkan. Satu malam tidak akan cukup menuntaskan hasrat mereka. "Maaf, Meneer Henri. Aku harus pulang. Nanti Indung Ali akan..."

"Kenapa kamu selalu memikirkan orang lain?" Potong Henri. Intonasi bicaranya berubah, dia tidak senang.

"Maaf, Meneer Henri, aku harus kembali."

Diam-diam, Wulan kembali keluar rumah tanpa ijin Indung Ali. Tentu saja, dia takut dengan sang pemimpinnya. Jika dia melakukan kesalahan, ancamannya... Enam penari Cadeau di rumah itu akan menanggung akibatnya. Tuan Walanda itu kembali terdengar menggerutu, sedikitnya Wulan mengerti bahasa Netherlands. Emosi pria bermata biru itu mendera keras, jika permintaannya ditolak.

"Indung Ali-mu itu tidak akan berani denganku, Oneng Gamelan Sari sudah menerima bayaran tinggi."

"Aku tahu. Sebagai penari-penari Cadeau, kami saling terikat. Aku tidak bisa egois meninggalkan mereka..." Wulan masih bertutur halus.

"Ah, bukankah kamu sudah 19 tahun? Seharusnya secara logika, kamu sudah bisa berpikir mana yang baik dan tidak." Henri kembali memotong perkataan Wulan. “Sampai kapan kamu mau terjerat tradisi bodoh berkedok pelacuran ini?”

Wulan tersenyum mendengar kalimat kasar itu. Bertemu dengan cinta pertamanya, membuat Wulan tidak pun sanggup menahan geloranya. Sekian lama mereka tidak berjumpa... Justru argumen atau adu mulut yang sering terjadi. Rupanya, kekecewaan dari masa lampu seakan menyisakan luka yang tak kering di jiwa Tuan Walanda itu.

"Jika aku mendapatkan Penari Pengantin penggantiku. Aku berjanji akan mengabdi kepada Meneer Henri." Wulan memutar arah tubuhnya.

"... Artinya kalian menjebak perempuan lain hanya untuk menari dan ditiduri?" Henri setengah tertawa seraya menurunkan kedua kakinya. Dia meraih piyama miliknya yang tergeletak di atas lantai

Wulan tahu, tidak semua orang paham akan tradisi turun temurun ini. Tapi Wulan mencintai hiburan tarian dan nyanyian yang diajarkan kepadanya sejak kecil. Wulan tahu ini doktrin kuno yang disematkan di dalam kepala perempuan-perempuan kampung. Tapi mereka adalah pilihan...

"Tubuh kami adalah keberkahan. dan membawa keberuntungan. Tarian kamilah membawa kemenangan bagi Dewi Kamboja"

Henri diam. Jari-jarinya tersendat ketika memasang keping kancing piyamanya... Lelah itu sebenarnya sudah memagut dalam batinnya. Tetapi, Henri masih memberikan kesempatan di hatinya untuk perempuan pribumi itu. Apa daya sekian lama tidak berjumpa, perempuan cantik ini masih juga terkukung dengan kekolotan orang-orang terdekatnya sendiri.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang