Bab 55: Ajakan

134 25 9
                                    

***

"Perlihatkan surat verklaring van ingezetenschap-mu?"

"I ... Iya?" Sri gemetaran dengan cepat dirogohnya dompet kecil yang harus selalu diselipkannya di dalam stagen. Tentara-tentara pribumi dengan lencana bendera tiga warna seakan-akan mengepungnya.

"Kamu terlihat cukup mencurigakan. Dari mana asalmu, Gundik?" suara tentara itu sedikit keras, sampai-sampai mengundang mata orang-orang yang berada di sekitarnya.

"Gun— gudik?"

Sri tidak tahu, kalau sikap gembiranya terlihat mencurigakan. Bukankah dia hanya mengagumi barang-barang yang terpajang di depan pertokoan.

"Aku … aku bukan Gundik!" sambung Sri seraya mengulurkan selembar kertas dari dompet bunga-bunganya.

"Bukan Gundik? Tapi aku tidak pernah melihatmu di daerah sini." Tentara pribumi itu merayapi tubuh Sri dengan tatapan runcingnya.

Sedang tentara satunya lagi, mengambil kertas di tangan Sri, dia membacanya dengan seksama.

"Oh, Sri Kemuning dari Desa Walangsari? Kamu ini bukan penduduk Buitenzorg."

"Desa Walangsari? Perkebunan tempat kerja Rodi? Apakah kemungkinan dia melarikan diri?"

Sri menggelugut, bibirnya mengigit-gigit sebagai rasa takutnya, tak sepatah yang berani dia keluarkan. Rasanya gelisah, dia mulai tidak fokus dengan pertanyaan kedua orang tentara itu.

Kedua mata Sri mulai beredar ke sekitarnya. Entah di mana keberadaan Meneer Henri. Yang pasti semua mata seperti tertuju ke arahnya, layaknya orang yang baru saja melakukan tindak kejahatan.

"Ada masalah apa?"

Ketika suara logat Walanda itu tiba-tiba terdengar, bola mata hitam itu langsung berbinar lebar.

Sri langsung berlari ke arah punggung sang tuan bermata biru.

"Oh? Maaf, Meneer." Tentara itu pun ciut dengan postur Henri yang tinggi. Dia bertukar pandang dengan temannya. Ekspresinya mencolok memberikan tanda ejekan, seakan Sri benar adalah perempuan simpanan Meneer Walanda.

"… kami hanya memeriksanya karena Nyi Ini begitu mencurigakan."

Henri merampas kertas milik Sri yang diulurkan tentara itu. "Mencurigakan? Dia hanya melihat-lihat barang-barang di depan toko. Dia pun tidak masuk atau membawa sesuatu dari dalam toko!"

"Maaf, Meneer." Kedua tentara itu langsung menunduk.

"Aku membiarkannya melihat-lihat, karena aku pikir area pertokoan ini cukup aman untuknya," sergah Henri membalas tatapan orang-orang sekitar yang seolah-olah menunggu sebuah kejadian seru. Mereka yang menonton pun langsung membubarkan diri.

"Kami minta maaf, Meneer."

"Aku rasa kalian hanya iseng ingin menganggunya." Henri berdengus. Manik biru itu mengkilap-kilap dia jelas ingin berkelahi.

"Ka … kami permisi dulu." Tentara itu memilih kabur. Mereka cukup tahu diri jika melawan orang Walanda, sekuat-kuatnya ilmu bertarung mereka … mereka akan tetap kalah, karena status orang Walanda lebih dituankan.

Henri masih mengawasi langkah buru-buru tentara-tentara itu. "Ada-ada saja. Apa mereka tidak bisa melihat perempuan sendirian?"

Henri menyadari, Sri mengintip dari samping lengan jasnya. Wajah polos tanpa dosa itu menempelkan pipinya, ujung alisnya masih meninggalkan kekhawatiran. Dia terpaksa merangkul Sri.

"Jangan khawatir lagi. Ini salahku. Tadi aku berhenti karena melihat mencium bau enak dari gerobak pedagang itu."

Sri melirik ke arah gerobak yang dimaksud meneer Henri. Gerobak itu hanya berjarak dua meter darinya. "Hehehe. Bukan salah, Meneer. Aku lah yang tidak awas. Terima kasih sudah menolongku."

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang