***
"Lanjutkan saja tidurmu."
Bisikan lembut itu terdengar begitu syahdu— rasanya senang itu tersulut berlebihan.
Kulit wajahnya terjerang. Pori-pori di sekujur tubuhnya merabai dan lamat-lamat menghangat ... hingga pandangan matanya membaur.
Tetapi, Sri tidak berpikir jauh. Dalam gendongan pria hangat itu, dia malah kaku— tersandera dengan basutan jantungnya yang melonjak.
Sri sendiri tidak bisa memahami perasaannya.
Apakah dia menyukai sentuhan fisik dengan Meneer Henri?
Kemudian sadar itu mengusiknya, ujung tatapan biru itu melabuhkan gemilang atas sikap santunnya. Ini jauh berbeda dengan sikap sang Meneer pada malam itu.
Sri tahu.
Malam itu, campur tangan gaib ... nyata bekerja. Bagaimana bisa, Meneer Henri yang tidak akan pernah mau naik ke atas panggung ataupun percaya hal mistis, langsung tergila-gila dengannya. Bahkan ketika kesuciannya direnggut— tatapan mata biru itu dipenuhi nafsu, liar dan tanpa ampun! Kini ... ketika semuanya kembali pada tempatnya. Kewarasan Meneer Henri justru membuat … jarak yang sengaja dibentangkan. Sri tidak menyukai itu.
"Apa kamar ini terlalu panas?"
Sri tersentak. Dia tidak sadar kalau, Meneer Henri sudah menidurkan tubuhnya di atas kasur.
"Hm, ti— tidak, Meneer. Kamar ini sangat nyaman"
Henri duduk di ujung ranjang besi itu, dirapikannya selimut untuk menutupi tubuh Sri dengan rapi. Senyumnya bersungging datar, membalas kegugupan yang membias Sri.
"Terima kasih sudah menemaniku bekerja."
Terima kasih?
Apa yang dilakukannya hanyalah duduk diam, Sri juga tidak mengetahui apa pun tentang pekerjaan. Meneer Henri serta koleganya lebih banyak berbicara dalam bahasa asing, terkadang intonasi bicara tinggi seperti bertengkar, lalu berubah tertawa dan tiba-tiba diam begitu saja. Sampai akhirnya Sri sendiri ketiduran.
"Apakah pekerjaan Meneer Henri selesai dengan baik?"
"Belum selesai … tapi pertemuan hari ini membuka jalan untuk perkembangan bisnis ke depannya."
Sri mengangguk-angguk saja. Perempuan bodoh sepertinya sudah pasti tidak mengerti.
Sekejap, mereka terkunci dalam diam. Kilapan mata mereka beradu. Henri jelas melihat sosok manis itu tampaknya mengharapkan sesuatu. Henri tidak ingin menebak-nebak … Pandangan mata kelam itu mengandung tanda tanya besar bersembunyi di dalam kilas kepolosannya.
Henri sendiri tidak tahu … apakah dia menginginkan perempuan belia ini ada di sisinya?
Tiba-tiba lonceng berbunyi. Itu adalah tanda waktu menunjukkan malam sudah lewat larut. Pecahan kesadaran mereka pun sama-sama mendarat.
"Tidurlah." Henri menepuk-nepuk kaki Sri. Dia berniat menutup jendela yang tak terlalu rapat itu.
"Apakah Meneer tidak tidur?"
Jari kecil itu menahan ujung kemeja Henri. Langkahnya urung terangkat. Dia tidak menghindari Sri, hanya kesan dirinya bertentangan dengan apa yang sedang dirasakan dalam hatinya.
Sejujurnya, Henri tidak menutup hatinya. Tetapi dia tidak mau menempatkan kepolosan Sri tenggelam ke dasar relung hatinya yang sudah carut marut… Dia juga tidak ingin memanfaatkan Sri sebagai pengobat lukanya. Henri hanya perlu membiasakan dirinya menerima Sri sebagai Sri Kemuning, bukan sebagai pengganti sang pengkhianat. Jika dia mencintainya, dia akan membiarkan rasa itu tumbuh secara luar biasa ….
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat Sang Penari
RomanceTerhimpit kemiskinan, kelaparan dan terluntang-lantung di jalanan... Atik memutuskan untuk bergabung sebagai tenaga kerja Rodi, di sebuah perkebunan milik Tuan berdarah Netherlands. Mereka pun harus pindah ke Desa Walangsari dan tinggal di barak pek...