***
Semburat langit tidak lagi cerah, berangsur-angsur merangkup nuansa redup. Warna jingga bercampur kemerahan terlihat terang, seakan menyambut mentari yang mulai menggelincir ke ufuk Barat berseberangan dengan gunung Salak. Angin bersaung alum dingin, menandakan malam akan tiba. Daya tarik alam yang megah itu, adalah hiburan pelepas lelah para pekerja dari perkebunan.
Desa Walangsari adalah desa buatan Pemerintah Netherlands. Desa itu meliputi beberapa usaha perkebunan milik Meneer Henri, seperti perkebunan Teh, kopi, cokelat dan Tembakau. Para penduduk tinggal di dalam barak-barak sederhana. Satu barak yang terdiri sampai 15 kamar untuk tinggal. Bangunannya terbuat dari pondasi batang Bambu Petung, dinding antar barak hanya dibatasi anyaman bambu atau Gedhek. Barak-barak itu mengelilingi sebuah lapangan luas dengan pendopo Joglo di tengah-tengahnya.
“Perlihatkan tangan kananmu.”
Sri menuruti saja permintaan Edi. Diulurkannya tangan kanannya yang terbungkus sobekan kain lusuh. Ibunya hanya mencuci luka-luka di tangannya dengan air garam.
"Geus bareuh... Ini mulai bengkak." Edi memperhatikan detil jemari yang terasa hangat itu. Kuku-kuku hitam itu jelas akan terlepas dalam beberapa minggu. Edi tidak yakin, apakah Sri bisa bekerja dengan kondisi tangan bengkak seperti ini?
"Abdi henteu kunanaon (Saya baik-baik saja), Kang," sahut Sri pelan. Padahal nyerinya luar biasa.
"Apakah Mandor tidak mengizinkanmu untuk mengambil jatah makan?"
Sri menggelengkan kepalanya. Saat ini perutnya pun sangat lapar hingga terasa nyeri dan kembung. Apa daya, Sri harus bersabar menunggu jatah makan malam.
Edi menenggokkan arah wajahnya ke pos penjaga. Pria-pria pribumi bertubuh besar itu ikut sibuk dengan kegiatan di tengah lapangan. Sedari tadi, banyak barang yang diturunkan dari truk milik Tentara Walanda. Karpet merah terlihat dihamparkan, bambu-bambu untuk penerangan disiapkan sejajar dan alat musik gamelan sudah disusun depan pendopo Joglo, sepertinya akan diadakan acara kendurian.
Suara kenong terdengar dipukul sesekali…
Edi cepat mengeluarkan beberapa pisang dari dalam kantongnya. "Dahar gancang... (Cepatlah Makan)." Dia meletakkan pisang-pisang itu di atas paha Sri, agar perempuan manis itu bisa langsung menyembunyikannya.
"Kang? Dapat dari mana?" Sri berbinar.
"Pohon pisang di dekat kebun tembakau ada yang matang dan roboh masuk ke sungai," bisik Edi. Dia kembali memperhatikan kondisi tangan Sri.
"Apa... Ini tidak apa-apa?"
Edi tidak menjawab dia mengeluarkan lagi sesuatu dari kantongnya... Ternyata daun tembakau dan batu kali.
"... Aku akan buatkan parem untuk dibalur ke tanganmu. Keur Ubar (Untuk obat)"
Sri tersenyum. Sejak dirinya pertama kali datang, pria yang lebih tua 3 tahun ini memang sangat perhatian kepadanya. Kang Edi berasal dari Desa Sumedang, dia diculik dan dipaksa untuk menjadi pekerja rodi di desa Walangsari ketika berangkat ke sekolah rakyat.
Sebelum melahap pisang kuning itu, Sri melirik ke arah pos penjaga. Secepat kilat, sekali kunyahan saja, pisang manis itu langsung berguling ke perutnya. "Manis," desisnya senang.
"Hehehe. Pasti manis. Aku tahu ini jenis pisang susu," ucap Edi. Dia langsung menghaluskan potongan daun tembakau yang sudah dipotong-potongnya kecil-kecil. "Tembakau bagus untuk obat luka, Mun aya bawang (seandainya ada bawang merah)."
"Aku sangat berterima kasih, Kang." Sri mengupas satu pisang lagi, dia memantau ke arah penjaga... Dan segera menyorongkan pisangnya ke arah Edi.
"Tidak. Kamu habiskan saja, kamu belum makan siang," bisik Edi menghindari sodoran pisang itu. "Pekerja perempuan pasti lebih cepat lelah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat Sang Penari
RomanceTerhimpit kemiskinan, kelaparan dan terluntang-lantung di jalanan... Atik memutuskan untuk bergabung sebagai tenaga kerja Rodi, di sebuah perkebunan milik Tuan berdarah Netherlands. Mereka pun harus pindah ke Desa Walangsari dan tinggal di barak pek...