***
Wulan mengintip dari sela-sela tirai pintu tengah, tampak seorang perempuan duduk di bawah tangga teras. Dari penampakan belakang, rambut putihnya sangat acak-acakan, kebaya usang dan tipis itu memperlihatkan tonjolan tulang punggung kurus dengan posturnya yang bungkuk. Tetapi, Wulan tidak merasa mengenal sosok perempuan seperti itu.
"Nyi, anjeun terang éta Nini heubeul? (apakah kamu mengenal perempuan tua itu?)"
"Tidak. Abdi henteu terang anjeunna (Aku tidak mengenalnya)."
Nyi Darsi ikut melirik ke arah teras. "Dia yang menemukan Condroso milikmu. Menurut pengakuannya, dia menemukannya di sungai."
"Oh." Wulan menarik ujung kerudung yang melorot kembali ke bahunya. "... Ki Ali sudah tahu. "
"Sekarang kabar itu santer terdengar. Padahal aku sudah memperingatkanmu, kembalilah sebelum para mandor dan pekerja keluar." Nyi Darsi memang selalu menutupi ulah kawannya itu, diam-diam menemui Meneer Henri. "Maaf, Nyi, sepertinya aku tidak bisa lagi membantumu."
"Tidak perlu meminta maaf... Terima kasih, Nyi Darsi sudah banyak membantuku." Ujung bibir Wulan menyungging datar. "Jika memang Ki Ali sudah tahu, biar aku sendiri yang akan menanggungnya akibatnya."
Durja perempuan yang lebih tua 5 tahun dari Wulan itu sangat khawatir, lamat-lamat senyum manisnya ikut pudar. "Mantra-mantra itu sudah dilekatkan bersama darah kita, aku takut ada hal buruk yang menimpa."
"Tong hariwang (Jangan khawatir)," bisik Wulan seraya menyibak tirainya. "... Aku temui dulu Nini di depan."
***
Atik meluruskan kakinya, memeriksa beberapa lukanya di dekat mata kaki. Meskipun darah dan nanah lecet dari luka itu sudah kering, beberapa binatang kecil tampak asik mengerubunginya. Tangan Atik mengirap dan menepuk binatang-binatang yang meninggalkan gigitan gatal itu. Rupanya cucian air garam tidak bisa mengusir perhatian mereka. Atik mengerang, lalu mengusap bagian ulu hatinya... Rasa nyeri itu kembali terasa.
"Selamat siang."
"Si... Siang."
Atik panik mendengar suara halus dari belakang punggungnya. Dia berdiri memutar arah tubuhnya, tetapi sontak dia meringis... Karena sakit pada perutnya melejit lagi. Atik membungkuk berusaha menahan suara kesakitannya.
Wulan terkesiap, dia langsung menuruni tangga rumah bedeng itu. "Duh Gusti! Aya naon jeung beungeut, Nini? (Ada apa dengan wajah, Nini?)" Wulan langsung memapah bahu perempuan yang terlihat kesakitan itu. Wulan tidak tahu, kalau perempuan itu datang dengan kondisi menyedihkan. Wajahnya banyak bekas luka juga lebam, dan darah segar tampak keluar lagi dari hidungnya.
Seorang penjaga langsung mendekati Wulan. "Nyi Wulan? Ada apa?" Tanyanya sambil memegangi Atik. Beberapa penjaga pun langsung sigap berdatangan.
"Ki, Nini ini terluka! Bantu bawah ke atas," jawab Wulan.
"Sedari tadi sudah kami minta naik ke teras, Nini ini tidak mau," sahut penjaga.
"Ti... Tidak usah, Neng." Atik terkejut... Wulan yang cantik, bersih dan wangi itu langsung memapahnya tanpa rasa jijik.
"Hayu urang naek ka teras. Abdi badé nginum cai (Ayo naik ke teras. Aku akan ambilkan minum air)." Wulan tetap memaksa, hatinya iba.
"Abdi di dieu, Neng. (Aku di sini saja, Neng)." Atik menolak. Dia merasa tidak enak, malu dengan penampilan dan kondisinya, jika duduk di kursi bersih itu.
"Ayo, naik ke atas saja, Ni." Wulan bersikeras. Dia tidak tega melihat kondisi Atik.
"Neng..." Atik masih berusaha menolak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat Sang Penari
RomanceTerhimpit kemiskinan, kelaparan dan terluntang-lantung di jalanan... Atik memutuskan untuk bergabung sebagai tenaga kerja Rodi, di sebuah perkebunan milik Tuan berdarah Netherlands. Mereka pun harus pindah ke Desa Walangsari dan tinggal di barak pek...