***
Suara dendang itu sayup-sayup berdengar, ada rasa bersaung antara kesedihan dan luka yang tersirat. Henri ingat nyanyian mendiang ibunya yang kerap menidurkannya, deretan prasa yang tak terucap itu cukup dia mengerti. Henri ingin merapatkan kenyamanannya, dia bergerak-gerak lembut ke tubuh seseorang yang berada di dekatnya... Rasanya udara di sekelilingnya kian sejuk. Wangi Cempaka itu membuatnya ingin terlelap lebih lama...
Manik biru Henri langsung terbuka lebar, detik itu juga dia membatu. Tak terdengar kata satu patah meskipun bibir Henri bergerak-gerak.
"Sudah sadar, Meneer?"
Suara itu menegaskan jawaban untuk pertanyaan yang bersemayam. Siapa biang dari kekacauan ini!
"A... Apa yang kamu lakukan, Wulan?"
Wulan tersenyum, seraya menaikkan jarinya. Rahang tegas milik tuan Walanda terasa menyenangkan di ujung jari-jarinya. Dia tidak mengelak ketikan tatapan sebiru langit itu menawarkan kebencian kepadanya. Padahal dahulu Wulan ingat... Mata indah itu selalu menatapnya dengan gairah yang posesif.
"... Aku hanya melakukan permainan kecil."
Sekelebat Ingatan Henri langsung memunculkan penampakan kepala Meneer Hans. Cepat-cepat ditepisnya tangan Wulan."Kamu gila?" Sergahnya segera beranjak dari kasur.
"Tidak, aku tidak gila." Tawa kecil Wulan tercetus. Dia berbaring santai sambil menopang kepalanya. Rambutnya tergelung rapi dengan Condroso kebanggaannya dari Raja Singolasi. "Ini adalah kesalahanmu, Meneer Henri."
"Ke... Kesalahanku?" Henri sebenarnya enggan membuang energinya. Dia cukup terpukul dengan kejadian hari ini. Kepalanya tidak bisa berpikir, provokasi yang direncanakan ini akan membuat kerja kerasnya hancur dalam sekejap. "Apapun yang akan ucapkan aku sudah tidak perduli."
"Tidak perduli? Dulu Meneer Henri hanya perduli denganku. Sampai-sampai bersikeras mau menikahiku."
Henri mengembuskan udaranya dari hidungnya panjang, sesak di dadanya seakan terlalu berat dikeluarkannya. Ada tarikan kuat di belakang kepalanya hingga ke ujung matanya. Urat pada kedua rahang Henri mengerat kerat. Indra penyelihatannya tak lepas menyorot lurus ke arah wajah Wulan. Tangannya mengepal berusaha mengendalikan dorongan amarah.
"Apa yang yang kamu lakukan dengan Colin sudah meruntuhkan segalanya. Aku merasa cukup berusaha sebaik mungkin untuk memilikimu."
"Kamu jadi pamrih sebagai alasan karena Sri Kemuning telah menggantikan posisiku," tebak Wulan.
Henri bergeming. Dia masih berdiri di ujung ranjangnya. Paras dengan pahatan wajah kecil dan bersinar itu adalah selalu bisa membuatnya terpesona. Wulan sangat cantik, tentu dia lebih menarik dari Sri kemuning. Dia memang sangat tergila-gila ketika dirinya terbenam di dalam jiwa Wulan. Tatapan penuh mata hitam itu selalu tanpa ketakutan, itulah yang menarik perhatiannya sejak mereka saling berbagi pandangan pertama kali. Sayangnya...
"Kamu tidak bisa disandingkan dengan Sri Kemuning. Dia jauh lebih baik darimu, Wulan..."
Wula melebarkan matanya. Tentu kekecewaannya menyeruak. Kali ini tawanya getir. "Anak sialan itu..."
"Kenapa kamu menyalahkan, Sri? Semua masalah ini karena ulahmu sendiri. Kamu sendiri yang mencebloskan Sri ke dunia Penari Cadeau demi keegoisanmu."
"Aku melepaskan statusku sebagai Penari Cadeau hanya untukmu!"
Henri melipat tangannya. Dia hampir saja tertawa terbahak-bahak. "Tidak, kamu melakukannya karena untuk kebebasanmu sendiri. Aku tahu, kamu juga tidak mencintaiku. Kamu memperalatku untuk mencari kenyamanan, Wulan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat Sang Penari
RomanceTerhimpit kemiskinan, kelaparan dan terluntang-lantung di jalanan... Atik memutuskan untuk bergabung sebagai tenaga kerja Rodi, di sebuah perkebunan milik Tuan berdarah Netherlands. Mereka pun harus pindah ke Desa Walangsari dan tinggal di barak pek...