Bab 67: Kabur

62 20 7
                                    

***

Atik segera menggulung ujung jariknya, disatukan lalu diikatnya rapat-rapat. Buntelan jarik itu berisi barang-barang berharga yang dia kumpulkan selama berada di Desa Walangsari.

Tetapi Atik kecewa, apa yang sekarang terjadi di luar rencananya. Dia pikir setelah Sri menjadi milik Meneer Henri ... semuanya akan aman, nyaman dan bahkan akan membawanya ke tingkatan hidup yang lebih sejahtera. Nyatanya, memang tidak semudah khayalannya.

"Ada apa sebenarnya? Kenapa kita harus khawatir dengan kedatangan Ki Sedan? Bukankah banyak penjaga di sini."

"Aku juga tidak tahu, tapi tidak ada salahnya kita waspada dengan situasi," jawab Nyi Darsi. "Kita harus menuruti Ki Ali untuk segera pergi."

Atik menghela napasnya dan merapikan selendangnya. "Apakah mungkin ada yang pemberontakan di sini? Bukannya banyak tentara Walanda dan patroli? Apalagi Sri sudah menjadi milik Meneer Henri ... seharusnya dia menjamin keselamatan kita." Atik masih belum percaya.

"Tidak tahu, Ni. Yang pasti tinggal dalam lingkungan kekuasaan seseorang, tidak akan menjamin keselamatan kita. Kapan pun hal terburuk bisa terjadi kapan saja."

Atik tercenung sembari memangku buntalan kain di atas pahanya, tak ada lagi kata yang bisa ditumpahkannya. Semua penari Cadeau pun sudah bersiap-siap untuk pergi.

"Semoga kita bisa keluar dari sini dengan selamat." Nyi Darsi menghempaskan napasnya panjang-panjang.

"Ayo, kita segera keluar," ucap Nyi Popon. "Pastikan tidak ada barang yang tertinggal."

Atik memutar arah tubuhnya, lalu menyadari sesuatu.

"Apakah kalian melihat Sri?"

"Loh, bukannya Sri ada di dalam." Nyi Popon membesarkan matanya.

"Di dalam? Di dalam kamarnya?" Atik tegang. Dia bergegas ke arah kamar yang biasa mereka tempati. Dan Sri tidak ada di sana!

Atik menelan air ludahnya. Anaknya itu memang begitu gelisah sejak melihat rumah sang tuan Walanda terbakar.

"Sri tidak ada di kamarnya!" Seru Atik terengah-engah.

"Yang benar, Ni? Jangan-jangan Sri kabur!" Nyi Popon langsung berdiri panik, disusul oleh beberapa penari lainnya.

"Bagaimana mungkin dia bisa kabur? Begitu banyak penjaga di depan!" Nyi Jujun sampai bersuara keras.

"Atauk Sri kabur meloncati pagar di samping kamarnyan, seperti yang Wulan dulu lalukan."

***

Langkah kaki Sri semakin cepat, dia begitu liar ketika menerobos semak-semak tinggi untuk membelah hutan-hutan gelap itu. Tadinya dia sedikit terbantu dengan pantulan cahaya obor yang berasal dari rumah Bedeng. Namun semakin dalam dia masuk ke hutan ... cahaya itu pun semakin menghilang. Kini Sri tidak tahu arah kakinya melangkah. Yang pasti api dengan asap pekat yang membumbung itu adalah acuannya.

Perasaan Sri tidak karu-karuan. Mungkin saja di tengah perjalanan ini, dia akan bertemu kembali dengan Ki Sedan yang kabar sedang menuju ke rumah Bedeng atau— mungkin dia akan tersasar entah kemana. Yang jelas, Sri tidak akan berhenti sebelum dia mengetahui kabar dari Meneer Henri.

Suasana mulai bertambah sepi. Hutan semakin dalam dan gelap, sungkup hitam itu bak membutakan indra pengelihatan. Samar-samar— deru angin berbisik— rendah dan menyeramkan. Seakan menyodorkan rasa bimbang di antara langkah yang mulai melambat itu. Naluri Sri bisu taak bisa memutuskan apa pun, jantungnya sudah berdenyut keras dan jelas menunjukkan bahwa dia takut.

Sri berhenti. Tangannya yang masih memegang jariknya lebih tinggi, dan lebih erat mencengkram. Dahinya yang dipenuhi keringat dingin, meleleh ke arah lehernya. Bibir pun merangkup kecemasan. Walaupun sulit, pandangan matanya keras menembus kegelapan di sekitarnya.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang