Bab 45: Keputusan

89 19 14
                                    

***

Dina lolongkrang waktu
(Dalam jeda waktu)

Sora hanjelu kadenge dina hate
(suara sedih terdengar di hati)

Nyerengeh siga nu nyeri
(Merintih seakan tersakiti)

Waktu teu bisa di dagoan
(Takdir tidak bisa dihindari)

Wanci teu bisa di gantian
(Nasib tidak bisa ditolak)

Suara emas itu mengumandangkan bait-bait sendu. Jelas— tetapi jiwa yang mendengar tidak bisa memaknai  artinya.

Lengok perempuan itu tampak molek, siluetnya kukuh bersemayam. Kelam padunya muncul, ketika rembulan tepat di atas mercu.

Kakinya tertekuk di bawah lantai, tangan kirinya mengalunkan capang. Selendang cerahnya berkibar, ketika dia melepaskan ujungnya.

Mata-mata lapar itu memusatkan penantiannya, menunggu untuk menari bersama sang pujaan.

Lamat-lamat— sosok hitam itu bergerak dari tepi panggung, melingsir kian dekat ke arah lawan pandangnya berdiri.

Temaram paparan rembulan menyusupi lekuknya. Sosok pun semakin nyata—

Dia seorang perempuan bermata kelam, berkulit eksotik dan— desiran aroma tubuhnya bersuam wangi cendana. Dia sangat cantik ...

"Aku tiada keberatan ... jika memang sang raja datang dalam keadaan hati kecewa. Jangan menolak undangan kesempatan ini ... apalagi bila nanti tuan sampai terlambat. "

Bola mata biru itu merenggang dari kelopaknya.

Mula-mula pancang batang obor-obor itu berputar cepat mengelilingi kepalanya. Lambat laun putaran itu makin melambat dan menjadi lorong cahaya yang menyilaukan.

"Tuanku, aku menunggumu."




BRAKK!!!!

Henri mengerjap—  kedua kakinya goyah ketika dia berdiri.

Sedang buku yang tadinya terpapah di pahanya— terhempas ke lantai.

Suara keras itu langsung menyadarkan titik kesadarannya.

Dia terengah-engah, menyadari dia tertidur di ruangan kerjanya.

***

"Apakah Meneer Henri mau tambah kopi?"

"Tidak, ini cukup." Henri menaikkan telapak tangannya. Kepalanya masih pusing karena tidak bisa tidur. Tapi dia tak ingin memikirkan mimpi aneh itu.

"Aku tunggu kedatangan Meneer Hans untuk sarapan."

"Baik, Meneer." Babu sedikit menunduk. Wajahnya takut untuk bertanya, ada kebiasaan yang berubah pagi ini. "… Maaf, Meneer, di mana Nyi Wulan?"

Henri melopongkan ekspresinya. Cangkir putih yang setengah kosong diteguknya beberapa kali. Ada jeda, enggan mengucapkan nama perempuan itu. Tentu saja Henri masih memberangsang-berang karena ulah Wulan.

"Kamu periksa saja di kamar atas! Semalam aku tidak tidur, karena ada pekerjaan yang harus aku selesaikan aku."

Intonasi tak acuh itu langsung memberikan kesan ingin mengakhiri pembicaraan tentang Wulan.

Pelayan rumah tangga kepercayaan Henri itu pun manut, menunduk.

Henri memandangi Babu- dia sangsi.

"Apakah kamu bisa menjaga sebuah kepercayaan?"

Mata segelap jelaga itu, membulat. "Ma… Ma— af, Meneer Henri," jawab Babu patah.

"Aku sangat mempercayaimu selama bertahun-tahun. Bahkan kamu juga mengenal perempuan itu dari empat tahun yang lalu."

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang