Bab 27: Kemarahan Atik

71 10 0
                                    


***

Matahari merendah, memedarkan sinar jingga bagai pusaran keagungan langit. Warna keemasan itu seharusnya membawa atmosfir kedamaian, pelepas rasa lelah setelah seharian bekerja keras. Tetapi- seberkas pantulan mentari di mata Atik, lebih merah- layaknya bara. Itu adalah lukisan kemarahannya.

"Sri?! Naon anu anjeun lakukeun di dieu? (apa yang kamu lakukan di sini?)"

Mimik ketidakpercayaan itu menyambung emosi panas Atik. Pikirannya sudah tidak mampu lagi untuk menebak-nembak secara sehat, mengapa Sri bisa berada di luar rumah bedeng. Seharusnya putrinya yang menjalankan ritual ... tidak berada di jalanan, apalagi bersama seorang laki-laki yang dia benci!

Tentu saja, hati Atik meledak-ledak ketika melihat Edi- berani mengandeng tangan putrinya! Entah apa yang terjadi, padahal ada harapan besar yang diletakkannya pada Sri.

"I- ibu- aku- aku pergi dari rumah bedeng untuk menemui, Ibu." Seharusnya, Sri senang ketika bertemu ibunya. Tetapi pancaran kemarahan dari wajah orang yang dicintainy sontak memupuskan semuanya.

Sri ketakutan.

"Menemui ibu? Kanyataan yén anjeun malah patepung lalaki ieu? (Faktanya kamu malah menemui pria ini?)"

Sri gugup. Dia tersadar kalau tangannya menggandeng erat jemari tangan Kang Edi. Sri cepat-cepat melepaskan tangannya.

"I- ibu salah paham."

"Salah paham?" Atik tertawa. Otaknya tidak bisa berpikir lagi, sumbu emosinya terus memantik kekalutannya. Kebencian Atik semakin bertambah saja kepada pemuda Sumedang itu.

"Anjeun pikir kuring ngaco kana naon anu kuring nyarios, Edi? (kamu pikir, aku main-main dengan ucapanku, Edi?)"

Edi sendiri tidak tahu, harus bagaimana merespon sikap Atik. Padahal, dia hanya mencoba menolong Sri dan sama sekali tidak merasa melakukan kesalahan. Terakhir, Edi sangat ingat dengan ancaman Atik- dia akan melemparnya dengan batu, jika masih menemui Sri.

Edi penepuk bahu Sri. Gadis itu terlihat menyerana melihat ibunya. "Ibu geus datang (Ibumu sudah datang), kita tidak usah ke barak lagi"

Sri senyum secara terpaksa, dia pun mengangguk pelan.

"Kang, nuhun."

"Sehat-sehat, Geulis," ucap Edi melepas langkah gontai Sri yang menjauhinya.

Ada getaran di dada. Edi tidak sama sekali tak bisa membantah dengan hadirnya rasa kesedihan itu. Sekian lama dia tidak berjumpa, kemudian mengetahui fakta bahwa gadis manis itu- benar-benar tidak akan terjangkau olehnya. Takdir sebagai Penari Cadeau adalah jalan yang harus diterima Sri. Setelahny jelas status mereka akan jauh berbeda dan dia tidak akan bisa sebebas dahulu untuk sekedar menyapanya. Mungkin- nasib baik- Edi akan menetapkan hari untuk menemui Sri di atas panggung menari.

Beberapa menit, setelah Sri memalingkan arah wajahnya dari arah Edi.

Langkah kaki Sri terhenti, ketika dia menyadari- ibunya hilang dari posisinya.

Sri tersentak. Tiba-tiba dia mendengar suara aneh yang keras- lalu tersambung suara teriakan!

Edi berteriak begitu keras! Suaranya menyayat rasa kesakitan!

Ketika Sri menoleh ke belakang, dia mendapati Edi sudah meringkuk kesakitan. Dia terus berteriak sambil menutupi dahinya. Sebongkah batu dengan tetesan darah terlihat di dekat kakinya.

"K- kang?" Sri gemetaran membesarkan bola matanya.

"Mundur, Sri!"

Sri hanya bisa melongo. Ibunya kembali dan menarik kuat tangannya untuk menjauhi Kang Edi. Kemudian, Atik melemparkan sebongkah batu lagi, tetapi kali ini, tidak mengenai Edi yang masih memegangi dahinya.

"I- ibu? Naon anu Ibu lakukeun ayeuna? (Apa yang ibu lakukan?)" Sri terkesiap.

"Aku sudah mengatakan kepadamu, Kang Edi! Jangan dekati Sri!" Atik kembali memungut batu besar yang tak jauh dari kakinya. Kali ini, dia tidak lagi melemparkannya. Atik bergegas mendekati Edi. Dia langsung memukulkan batu itu tepat ke kepala Edi.

"AAAARRGHH!"

Suara erangan kesakitan keras dan suara hantaman itu seakan mencabik-cabik jiwa Sri. Dengan mata kepalanya sendiri, dia menyaksikan orang yang melahirkannya itu, bertindak begitu kejamnya- wajah orang yang dikasihinya itu, menjelma menjadi sosok menyeramkan yang dia tidak kenali- Senyumannya menyeringai, seakan menyukai tindakan brutal yang dia lakukan!

Atik mengangkat tangannya lagi. Dia dihinggapi rasa tidak puas, sekali lagi dia hendak memukulkan batu berdarah itu ke kepala Edi yang sudah terjatuh, padahal pria itu tidak sadarkan diri.

"Ibu! Ibu Berhenti!" Sri menangkap tangan ibunya.

"Ini salah Sri! Bukan salah Kang Edi! Sri yang kabur dari rumah bedeng!" Isak Sri seraya merendahkan tubuhnya, dia memeriksa Kang Edi yang sudah bersimbah darah. Sri benar-benar tidak menyangka ibunya melakukan hal kejam seperti ini.

Atik mengerjap. Suara tangisan putrinya itu langsung menyadarkan kekhilafannya.

"Sri mah hoyong ibu nganyenyeri jalmi sapertos kieu! (Sri tidak mau ibu menyakiti orang seperti ini!)"

Atik menurunkan tangannya yang masih mencengkram batu besar itu dengan kuat. Tetapi dia adalah orang yang berani, Atik tidak pernah ingkar dengan ucapannya. Apa yang dia lakukan semata-mata menunjukkan bahwa dia tidak main-main dengan ancamannya.

"Kenapa kamu begitu cengeng, Sri?"

"Apa ibu sadar, apa yang ibu lakukan?"

Bola mata Atik berkeliling, ulahnya tentu saja membuat perhatian. Semua orang berkumpul dan berbisik-bisik, mereka lagi-lagi menggunjingkan keributan kecil ini Tetapi, Atik tidak takut lagi, Atik tidak malu ... Dia bahkan berani membalas tatapan orang-orang yang bergerombol itu. Tidak ada alasan lagi membiarkan dirinya terinjak-injak.

Sri panik. Dia mengusap kepala Kang Edi yang bercucuran darah, pria itu benar-benar tidak bergerak lagi. Entah apa yang terjadi jika ibunya membunuh Kang Edi! Sri mengusap air matanya, dan memantau pergerakan dada Edi, tanda dia masih bernapas.

"Tulung ...."

Sri mengangkat wajahnya. Dia meminta bantuan kepada pria yang berdiri sekitarnya, tetapi mereka malah membuang muka dan menjauh.

Sri tersadar. Di Desa Walangsari itu tidak ada yang akan menolong mereka- bahkan sakit atau terluka di barak- tak akan ada yang memperdulikan mereka. Apalagi tidak ada mantri di desa buatan Walanda ini.

Atik menghela napas. Dia melemparkan batu yang dipegangnya.

"Pria itu tidak akan mati. Aku ini hanyalah perempuan tua, tidak memiliki tenaga yang besar!" pungkas Atik.

Sri meluruskan tatapan mata kesedihannya ke arah Atik. "Ibu Jahat! Ibu tega sekali!" Teriak Sri dengan keras.

"Manéh wani nyentak Ibu?" (Kamu mulai berani berteriak kepada ibumu?)"

"Ibu tidak perlu melakukan kekerasan seperti ini! Kang Edi tidak melakukan kejahatan apapun kepadaku!" sahut Sri. Dia memangku kepala Edi di atas lututnya. Sri masih menangis, karena dia tidak tahu ... Bagaimana menyelamatkan pria baik itu-

Tiba-tiba rombongan tadinya berdiri mengelilingi mereka bertiga, langsung bergegas membubarkan diri.

Suara derap kaki kuda, terdengar lantak mendekati mereka.

Atik menelan ludahnya, kemungkinan Mandor memergoki keributan ini

"Aya naon di dieu? (Apa yang terjadi di sini?)" Ucap salah satu pria dari rombongan berkuda itu.

***

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang