***
Langkah perempuan itu terhenti. Kakinya menggerus tumpukan daun bambu yang mirip dengan pelataran. Angin tenggara bertiup hangat, menyebarkan bau daun-daun alam yang mengering. Suara derunya memutar dan menerbangkan beberapa helai dari batang-batang bambu yang berdiri sejajar. Sinar redup di langit barat itu berwarna keemasan, memantul di setiap benda yang menerpanya. Ujung selendangnya tersangkut pada ranting bambu yang rendah, seakan-akan hendak menghalangi niatnya untuk berjalan. Wulan menepis ranting bambu itu dengan goloknya. Bahunya sedikit susah karena dia membawa tas dan golok di tangannya.
"Siapa yang mau kamu temui di sini?"
"Nanti kamu juga tahu, Meneer Colin."
Colin menaikkan tangannya kepada anak buahnya. Dia meminta mereka untuk berjaga-jaga. Seharusnya mereka sudah meninggalkan Desa Walangsari. Colin pun sudah mendapatkan rekomendasi untuk bertugas di Gombong, Jawa Tengah. Dia pun tidak keberatan membawa serta Wulan. Tetapi selalu saja ada alasan perempuan itu.
"Kita tidak tahu kapan Meneer Henri akan pulang, jangan sampai dia marah…"
"Diamlah! Kalau kamu tidak bisa diam, kamu pergi saja, tinggalkan aku di sini." Wulan menaikkan goloknya, dia sudah muak mendengar Colin selalu mengomel.
Colin menaikkan kedua tangannya. "Aku bisa meninggalkanmu di sini. Ini juga bukan masalahku."
Wulan tertawa mendengar kalimat yang dilontarkan Colin. Langkahnya cepat mendekati Colin. "Kenapa kamu tidak pergi juga?"
Colin bersitegang dengan pilihannya sendiri. Sepatah pun dia tidak bisa menjawab, Kerongkongannya terasa tercekak. Dia perduli dengan Wulan karena simpatiknya ada untuk perempuan ini. Sedikitpun Wulan tidak juga menghargainya. Golok itu semakin mendekat tepat di kulit lehernya.
"Apakah artinya Meneer Colin juga mencintaiku seperti Meneer Henri?"
Mata cantik itu berkerling. Tetapi apa yang tersirat itu hanyalah sekedar ejekan. Colin sadar akan sikap Wulan tidak akan melunak kepadanya. Kesalahan terbesarnya adalah mengkhianati Meneer Henri… Dia tergoda dengan tipu daya tubuh Wulan yang hanya ingin bersenang-senang. Jika begini … Dia sungguh tidak tertarik. Baginya dia lebih baik memilih perempuan Netherlands saja untuk dijadikan istri.
"Setidaknya aku masih bertanggung jawab. Meneer Henri sudah tidak menginginkanmu…"
Wulan menurunkan goloknya, lalu perlahan-lahan dia memiringkan kepalanya… Matanya mewawas, menyambut kedatangan beberapa orang dengan mengendarai kudanya. Suara derap kuda itu semakin jelas terdengar….
"Ki Sedan?"
Colin terkejut mendengar nama itu. Ki Sedan adalah orang yang dipercaya oleh Pemerintah Netherlands ketika Desa Walangsari dibangun. Jika kedatangan mereka karena Wulan, jelas bukan sesuatu yang baik. Entah apalagi yang akan direncanakan Wulan. Tadinya Colin berpikir, Wulan sedang diamuk rasa kecewa terhadap Meneer Henri. Itu saja.
Ki Sedan meludah ke sisi bahunya. Dia menarik tali kekang kudanya. Dengan pandangan mata yang mengandung tanda tanya. "Apakah kau perempuan yang ingin menemuiku di tempat seperti ini?"
"Sumuhun, Ki. Nami abdi Wulan Asih (Benar, Ki. Namaku Wulan Asih)."
Tangan Ki Sedan menyusuri lipatan sirihnya keseluruh gigi depannya, liur merahnya menetes ketika dia berhenti. "Panginten kuring terang anjeun? (Aku sepertinya mengenalmu?) Bukankah kamu adalah perempuan simpanan Meneer Henri?" tatapan tajamnya beralih ke arah Colin, tentu dia mengenal perwira ini. Dia tidak bisa menebak apa terjadi.
"Ah, Ya," sahut Wulan dengan wajah getir. "Aku ingin menawarkan sesuatu."
"Naon? Apakah ada sesuatu yang penting?" Ki Sedan memandang sekitarnya, ada beberapa Tentara yang sedang bersantai…
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat Sang Penari
RomanceTerhimpit kemiskinan, kelaparan dan terluntang-lantung di jalanan... Atik memutuskan untuk bergabung sebagai tenaga kerja Rodi, di sebuah perkebunan milik Tuan berdarah Netherlands. Mereka pun harus pindah ke Desa Walangsari dan tinggal di barak pek...