***
Gulita malam cerah itu menyabur taluan gamelan yang membahana. Suara keplokan tangan-tangan, turut mengaru sorak-sorai penonton yang berkerumun di sekitar.
Suara perempuan itu merdu serindai, bersambut dengan irama gerak tubuh gemulai. Gerakan tatak bahunya, mendorong pangkal lehernya mengarah pada markah Sang Raja.
Manik mutiara hitam itu mencerling, sembari mencampakkan sampur jingganya sesekali. Lenggok pinggulnya rancak berputar. Dia mengekspose gerak panggulnya yang terselubung sensualitas.
Asungan itu berhasil menarik gairah Sang Raja.
Sang Bulan tampak tenang terapung-apung di lautan bertabur bintang. Purnama itu berseri, karena jelaga tak mampu mendaulatnya. Kendati umurnya tinggal beberapa jam lagi … namun dia adalah saksi bisu bahwa panggung sederhana itu layak dikatakan sebagai kesuksesan sang pengantin.
Pria berkulit pucat itu mulai bergolak, ketika tangan perkasanya berkali-kali gagal mencekal kedua tangan sang penari. Dia tidak lagi mengikuti ritme musik yang mengalun, dan mulai bergerak tak karuan. Dia harus bisa menangkap anggota tubuh si perempuan agar berhenti menari.
Tidak ada yang bisa menebak, dari mana asal pedar yang tertaburan di pupil biru sang saudagar Walanda itu … rntah dari kobaran api obor, cahaya bulan atau gairah yang tak sanggup disembunyikannya lagi.
Pria itu jelas belingsatan karena terpapar nafsu.
Tawa kemayu di balik selendang Jingga itu kembali menggoda kegagalannya lagi. Penari bertubuh kurus itu, bahkan lebih lincah menghindar daripada Kancil buruannya di hutan.
Langkah Kaki Henri bahkan terdengar menghentak-hentak lantai papan panggung. Goncangannya sampai-sampai membuat Indung Ali khawatir setengah mati. Acara sakral itu pasti akan menjadi cerita jenaka kalau saja panggung itu ambruk. Apalagi, tingkah kejar-kejar sang Tuan Walanda dengan Sri Kemuning mengundang gelak tawa bagi tamu-tamu istimewanya.
Kedhang ditabuh sekali lagi, alat musik dari kulit domba itu bergetar cepat ke rongga bawahnya. Suara teruk itu laksana genderang pengingat, jika Sri Kemuning harus kembali ‘menjahili’ Meneer Henri. Sri kembali memainkan tungkai tangan dengan seledangnya. Kilap matanya melirik genit, sembari kembali mengayunkan pinggulnya.
Henri memiringkan kepalanya saja, kali ini dia tidak akan gegabah. Perempuan berbau cendana itu kembali berlenggok. Jasmani penuh sensual, sekali lagi menyulut debar-debar di jantungnya. Pikirannya pun melambung-lambung cabul, karena tubuh perempuan berkulit eksotis itu mengairahkan rasa kelelakiannya.
"Apakah Paduka tidak bisa menangkap hamba?"
Indera pengelihatan Henri lekap, sambil menelan air ludahnya. Tenggorokannya ingin mereguk lebih banyak lagi sensasi berahi yang membumbung. Batinnya tunduk, dan terus-terusan memuji kecantikan perempuan pribumi itu.
Tetapi Henri belajar untuk diam, dia membiarkan perempuan itu mengitarinya. Anehnya, kegelapan malam seolah menghilang! Secara nyata, sosok sang Penari tampak berkilauan di matanya. Cahaya transparan yang lamat-lamat menyelimuti tubuh itu bukan lagi berwarna putih … ada warna keemasan yang benar-benar indah. Seakan-akan, mereka berdua berpindah ke dalam dimensi yang lain.
"Caangna salalawasna, Saumur kula. Kalawan kanu ngurus jeung ngaluis Paduka Meneer Henri Karl, mangka langgeng mangka tetep mangka hurip kajayaan."
Henri bergeming, dia tidak mengerti kalimat yang halus dicetuskannya. Henri lebih tertarik memperhatikan bibir segar yang tampaknya lezat untuk dicicipi. Dada Henri mulai sesak, sebab ada yang mulai melonjak. Irama denyut jantungnya meriah dan hangat mengguguti berahi di dalam jiwanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat Sang Penari
Storie d'amoreTerhimpit kemiskinan, kelaparan dan terluntang-lantung di jalanan... Atik memutuskan untuk bergabung sebagai tenaga kerja Rodi, di sebuah perkebunan milik Tuan berdarah Netherlands. Mereka pun harus pindah ke Desa Walangsari dan tinggal di barak pek...