Bab 17: Kabar Baik?

72 17 13
                                    

***

Sepatu kulit itu melantak, Henri menuruni anak tangga dengan wajah kesal. Dia merasa dipermainkan, karena semalam Wulan tidak datang. Bahkan pria yang biasa menjemput Wulan di tempat biasanya, sampai ketiduran di tepi sungai, dia menunggu kedatangan Wulan sampai menjelang fajar. Henri sudah menebak, Wulan dilarang pergi untuk menemuinya.

Babu yang melihat wajah pemilik perkebunan bersungut-sungut itu, langsung menundukkan wajahnya. "Maaf … Ada apa, Meneer?"

"Dia tidak datang lagi," jawab Henri ketus.

"Saya tahu…" Babu itu mengikuti langkah tuan berambut pirang itu masuk ke ruangan kerjanya. Walaupun memakai jarik dia bisa mengimbangi langkahnya. "… Neng Wulan memang tidak datang."

"Menurutmu, haruskah aku menemui pemimpin Penari Cadeau itu dan mengatakan bahwa Wulan adalah milikku?" Suara yang tertahan rasa amarah itu terdengar semakin berat. Henri membuka laci meja kerjanya, satu persatu. Dia pun mengangkat sebuah peti kayu yang dicarinya.

"Maaf, Meneer ... Menurut saya lebih baik menyuruh orang saja untuk memeriksa keadaan, barang kali ada sesuatu di sana," jawab Sang Babu. "Reputasi Meneer sebagai pemilik perkebunan harus tetap dijaga …"

Henri melemparkan tatapan dinginnya ke arah perempuan berkebaya hijau itu. "Reputasi? aku ini berusaha memahami kondisi Wulan. Tetapi kadang-kadang aku juga benci masalah keterikatannya dengan tradisi bodoh itu."

"Meneer, tradisi memang tidak bisa lepas dari orang-orang pribumi." Babu itu masih berusaha berbicara tenang dan lembut.

Henri mengeluarkan pistolnya, dia memeriksanya sebelum memasukan beberapa peluru. "Wulan itu mengorbankan dirinya sendiri… Dia begitu percaya dengan mistis dan omong kosong. Kenyataannya tubuhnya dijual demi kepentingan Desanya. Aku mencurigainya, kalau semalam dia tidur dengan pria lain!"

Babu pun menunduk ketika mendengar suara kemarahan yang bercampur cemburu itu.

"Tolong siapkan kuda untukku!"

"Ba… Baik-baik, Meneer."

"Meneer Henri? Ada apa pagi-pagi begini kamu sudah mengeluarkan benda itu."

Colin yang baru saja sampai di depan pintu- terkejut melihat Henri mengisi pistolnya.

"Aku akan ke masuk ke bawah desa Walangsari..." Jawabnya.

"Waarvoor? (Untuk apa?)" Tentara angkatan darat itu mulai panik.

Henri tidak menjawab. "Mungkin membubarkan tradisi penari Cadeau konyol itu."

"Kemarahan Meneer masih saja berhubungan dengan perempuan bernama Wulan." Colin melipat tangannya. "Ga geen problemen zoeken, de Nederlandse overheid zal het niet leuk vinden als je dit doet zonder hun toestemming (Jangan cari masalah, pemerintah Netherlands pasti tidak suka kamu melakukan ini tanpa ijin mereka)."

"Ja! Deze plantage is van mij (Ya! Perkebunan ini milikku...) Pekerja-pekerja itu digaji di atas lahanku! Bukankah aku berhak mengatur apa pun?"

"Henri, begitu banyak perempuan lain yang lebih baik, kamu masih saja tersangkut dengan seorang perempuan pribumi yang sama?"

"Itu pilihanku!" Henri berdiri dan bergegas menuju keluar kantornya.

"Hei! Doe niet zo belachelijk! (Jangan konyol!)" Colin berusaha menahan Henri. "Di tanah negara ini Penari-penari Cadeau itu salah pemasukan terbesar bagi pemerintah Netherlands ..."

"Ya, pemerintah memang melegalkan pelacuran berkedok tradisi."

"Jangan gegabah, Meneer."

Henri mendorong bahu Colin yang menghalanginya langkahnya di depan pintu. Dia keluar dengan emosi yang semakin membara. Henri memang sudah menunggu pemicunya untuk menumpahkan rasa kesal yang dia pendam selama bertahun-tahun…

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang