Bab 25: HATA

102 18 3
                                    

***

"Sri, dahar lalaunan atuh ... Makanlah dengan pelan-pelan," ucap Nyi Darsih.

Sri menggelengkan kepalanya

"Leu anduk. Hapus dulu air matamu." Nyi Minah meletakkan handuk di pangkuan Sri.

Sri menggelengkan kepalanya. Kali ini dia tidak perduli, Sri hanya ingin makan sepuasnya! Dia tidak perduli air mata atau lelehan ingusnya meler. Baginya makan besar ini adalah perayaaannya! Setelah melewati ritual kelaparan selama 40 hari, ditambah menelan bubuk lada yang amat menyakitkan tadi! Pokoknya, Sri hanya mau makan!

"Jangan terburu-buru. Nanti kamu tersedak," tegur Indung Ali. "Dahar lalaunan ... pelan-pelan saja makannya."

"Aku sangat lapar, Ki!" Sahut Sri dengan mulut yang penuh. Tangan kanannya menggenggam ayam dan tangan kirinya menggenggam ketimun lalapan. Bahkan Sri sendiri tampak kesusahan menggerakkan rahangnya untuk mengunyah.

"Iya, pelan-pelan saja ... Selama 40 hari itu, perutmu sudah bersih dan terbiasa kosong. Anjeun sieun nyeri beuteung tina teu dahar oge.(Takutnya sakit perut karena langsung makan berat)." Nyi Darsih pun merasa khawatir.

"Hihihi. Beungeut Sri imut pisan (Wajah Sri Lucu sekali). Dulu aku juga makan banyak sepertimu, Sri. Sampai-sampai aku muntah," ungkap Nyi Jujun.

Seakan tidak memperdulikan apa pun, Sri mengambil sebutir telur rebus ... Dia langsung mengerogoti dengan gigi-giginya, agar tetap bisa muat ke dalam mulutnya. Cepat-cepat, Sri pun melahap daging ayam bakar di tangan kanannya. Tampaknya, Sri tidak ingin membagi makannya.

"Su ... sudah jangan begitu. Kalau kurang kami bisa memasak lagi untukmu, Sri." Nyi Jujun sampai menambahkan potongan tempe bancem untuk Sri.

"Sudah tidak apa-apa biarkan saja," ucap Indung Ali. "Biar dia puas-puas makan. Puasa 40 hari memang cukup berat."

"Hehehe. Benar, Ki." Sri mengusap ingusnya dengan punggung tangannya.

"Yang penting kamu bersiap, ritual ketiga akan dilakukan pas bulan purnama. Kebetulan bulan purnama akan terlihat beberapa hari lagi."

"Oh, benar. Sri kudu ngajalanan ritual katilu ... (Sri harus menjalani ritual ketiga ...)" Nyi Darsi mengangguk-angguk.

"Memangnya apa ritual ketiganya?" tanya Sri dengan mulut penuh. Dia masih penasaran.

Induk Ali mengeluarkan Cangklongnya. "Kuring bakal ngajelaskeun engké (Nanti aku akan jelaskan). Selesaikan makanmu. Setelah itu, kita larungkan sesajen ini ke sungai."

"Sesajen? Ah, baik, Ki!" Sri langsung meraup nasi dan sayur ke dalam mulutnya. "Masakan ini enak sekali!" Pujinya dengan mulut penuh.

***

Sri memandangi nampah kecil bambu dengan susunan nasi kuning dengan banyak lauk pauk di sekelilingnya. Nyi Naimah pun menambahkan pisang raja dan bubur nasi merah dan putih sebagai pelengkapnya.

"Ki, ini hio, bunga 7 rupa dan kopi hitamnya ...." Nyi Popon meletakkan besek di atas meja.

"Ya, terima kasih, Nyi." Indung Ali mengeratkan ikat kepala batiknya. Dia memandangi Sri yang sudah didandani dengan memakai kebaya kuning dengan rambut digelung.

"Aya nu leungit Ki? (Apa ada yang kurang, Ki?)" Tanya Nyi Darsi.

"Berikan dia condroso ..."

"Oh, pakai punyaku saja." Nyi Popon mengusap gelungan rambutnya, dan meraih tusuk gelungnya.

Sri berbinar melihat Condroso dengan hiasan batu hijau milik Nyi Popon, keturunan Tionghoa itu. Hiasan gelungan itu terlihat sangat mewah.

"Semoga semesta akan melancarkan jalanmu untuk bergabung bersama kami," bisik Nyi Popon sambil menyelipkan Condroso miliknya. "Sri Kemuning anak yang manis ...."

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang