Bab 73: Akhir

111 21 14
                                    

***

Setahun kemudian ….

Pancaran cahaya matahari membangunkan Desa Cisitu, menyingkap kabut halus yang menyelimutinya. Pucuk-pucuk daun palawija masih kuyup terbalut embun. Titik-titik air beradu tertiup angin, kilapnya bak intan indah terpapar kehangatan di pagi hari. Suara sapu lidi dan tangisan anak kecil selalu menjadi musik pagi yang biasa berkumandang. Kepulan asap tungku terlihat dari ujung atap beberapa rumah, pertanda mereka mempersiapkan sajian untuk makan pagi sebelum keluar dari pintu rumah. Suasana desa kecil dengan 25 rumah itu mulai ada kegiatan.

Ada satu rumah besar di sudut Desa Cisitu, sebab rumah itu memiliki aula besar di tengah-tengah halamannya. Penghuninya adalah suami istri dengan seorang anak perempuan yang baru saja menginjak umur setahun.

Sang suami memeriksa kandang ayam di samping rumah bergaya joglo itu. Tangannya merogoh beberapa sarang yang tidak lagi diduduki oleh induknya. Rambut panjangnya terjuntai, ketika dia menunduk. Walaupun matanya tertutup satu, dia bisa melihat di mana telur-telur berwarna putih itu terselip. Kemudian, dia menaikkan kepalanya … sayup-sayup terdengar suara celotehan anak kecil. Dengan segera, dia masuk ke dalam rumah.

"Apa kamu baik-baik saja? Masih sakit kepala, Sri?"

Sri melirik ke pintu yang setengah terbuka itu. "Iya, Kang. Aku sudah merasa lebih baik." Sri segera melipat jariknya, digelungnya rambutnya hitamnya. "… Dan aku tidur cukup nyenyak."

"Apakah Datri masih demam?"

Sri melongok ke ranjangnya. Dahi anak perempuan itu mulai dipenuhi titik-titik keringat. Cahaya matahari yang menembus jendela itu membuat rambut pirang Datri, indah dan berkilauan. Sri mengusap dahi anak perempuannya yang mulai aktif berbicara.

"Demamnya sudah turun, Suhu tubuhnya sudah dingin," jawab Sri.

"Syukurlah. Aku sudah merebus singkong… kita sarapan dulu." Pria yang mengenakan tutup mata satu itu beranjak dari pintu.

"Hatur nuhun, Kang Edi."

***

Suara calung terdengar. Akhirnya remaja pria itu semakin ahli memainkan alat musik yang terbuat dari bambu. Dia hanya berbekal dari buku yang diberikan oleh Sri. Selendang warna-warni itu terkibas secara serempak, diiringi wajah yang terangkat ceria. Pinggul mereka berlenggak-lenggok mengulang kembali tarian yang sudah diajarkan. Sri pun tampak cermat mengawasi anak-anak perempuan Desa Cisitu. Dia aktif melatih sanggar kecil, selepas bekerja berkebun.

"Naon? Apa kamu akan menerima tawaran desa sebelah untuk menari di pesta panen?"

Sri tidak menjawab cepat, manik matanya melirik ke arah Edi. Datri tampak gelisah dari gendongan suaminya … dia ingin turun.

"Aku tidak tahu."

"Aku tidak akan mengijinkanmu, jika mereka memakai ritual. Jika hanya tarian biasa seperti yang dilakukan anak-anak ini, mungkin aku tidak masalah."

Sri tersenyum. "Ritual penari Cadeau pasti ada di setiap daerah. Hanya saja, Aku sudah tidak memiliki Indung. Jangan khawatir, aku tidak akan menari sebagai penari Cadeau dan selendang itu tidak akan aku kalungkan lagi."

"Mau… turun .… " Datri mulai memberontak. Edi pun mulai kelawahan.

"Datri memang sedang cerewet akhir-akhir ini." Sri menghela napas.

"Hahaha. Dia cuma mau lihat bebek." Edi pun terpaksa menurunkan Datri. Gadis satu tahun itu memang gemar menonton gerombolan bebek yang rutin lewat di depan rumah mereka. Edi pun mengiringi langkah kecil itu dari belakang.

Ada perasaan teduh setiap melihat Edi dan putrinya akrab seperti itu. pada akhirnya, dia pun menerima lamaran Edi untuk menikah …  dan memulai hidup baru di kampung kelahiran Edi. Keluarga Edi pun sangat baik dirinya dan Datri.

"Bu...." Datri menoleh ke arah Sri, dia juga ingin ibunya turut serta menonton gerombolan bebek yang beramai-ramai lewat. Mata birunya berpendar … ketika tersorot cahaya matahari sore. Sosok kecil Datri seperti dewi yang bercahaya… dia sangat mirip dengan Meneer Henri yang merupakan ayah kandungnya.

Setelah kejadian mengerikan, Sri tidak lagi mengetahui keberadaan sang tuan Walanda dan Desa Walangsari pun sudah disewakan oleh seorang Saudagar keturunan Tiongkok. Artinya … Meneer Henri tidak lagi tinggal di sana. Tadinya Sri berusaha keras mencari keberadaaan pria itu. Anehnya … Pemerintah Netherlands seakan-akan menutupi jejak. Sri pun sampai mencarinya sampai ke Sidoharjo. Tetapi Nihil, tuan Walanda itu sudah menjual segalanya. Informasinya yang dia dapatkan pun sangat sedikit … katanya Meneer Henri sudah dikirim kembali ke negaranya.

"Ibu, harus mengajar … Datri dengan abah saja, ya?"

Anak perempuan itu menurut.

Suara calung pun terhenti, tanda latihan tari hari ini selesai. Sri mengambil keranjang berisi telur. "Balik ka imah, (Pulanglah kalian), jangan mampir kemana-mana. Ini sudah sore. Bawalah telur ini untuk makan malam," pesan Sri sambil memberi kelima anak-anak itu telur sebagai oleh-oleh.

"Nuhun, Nyi Kemuning …" ucap mereka hampir bersamaan.

Sri tersenyum, bola matanya mengikuti langkah kecil anak-anak itu berhamburan, keluar dari halamannya.

Datri pun merengek, dia kembali memeluk kaki Abahnya untuk minta digendong, rupanya rombongan bebek itu sudah menjauh.

"Biar aku saja, Kang …. Ayo, Datri sama ibu."

"Hm, Datri sama ibu saja … Abah mau ke sungai memeriksa keramba … "  Edi pun mengulurkan tubuh kecil Datri ke arah Sri.

Baru saja Sri mendekap tubuh kecil Datri … Jantungnya berdegup ketika menyadari seorang laki-laki dan seorang perempuan sudah berdiri di depan pagar rumah mereka.

"Sri Kemuning? Benarkah kamu Sri Kemuning?"

Sri dan Edi pun saling berpandang-pandangan, melemparkan rasa gelisah.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang