Bab 34: Sri, Si Penari Cadeau

128 20 7
                                    

****

Gupay-gupay panineungan kiwari nembongan deui.

(Kegembiraan kini muncul kembali)

Angger aya nu diarep-arep

(ada sesuatu yang dinantikan)

Ti peuting angkeub ku mendung

(Dari malam tertutup awan)

Manjing ka sasoroting sinar

(Pergi ke sinar cahaya)

Neueulkeun tarang neueulkeun jantung

(Perbarui cahaya perbarui hati)

Kuring mo mungpang kuring rék datang

(Aku menunggumu datang)

Nyekleukna jero tangkeupan.

(Membungkuk dalam genggaman)

Indung Ali meninggikan bokor di tangannya. Pria dengan pakaian pangsi hitam-hitam itu duduk bersila di depan seperangkat sesajen yang sudah dipersiapkan. Dia  menundukkan kepala dan ber suara hikmat beradu dengan tiupan napasnya.  Susunan berbagai tujuh macam panganan, pisang Raja, sebuah cermin, sebuah sisir, dan warna bunga rampai tujuh warna tampak apik mengitari segelas kopi hitam yang disajikan.

Aroma khas mendupai kelat, membaurkan atmosfir mistis di sekitar ruangan itu. Bokor-bokor  yang telah dimanterai itu disusun. Simbol persembahan itu di jukan kepada para leluhur dan roh-roh yang ada di sekitar, agar menjaga keselamatan keselamatan untuk Sang Calon Pengantin Penari Cadeau melaksanakan ritual ketiganya. Para perempuan Penari Cadeau duduk rapi bersimpuh sedang para penabuh gamelan duduk di belakang mereka.

"... Kadieu, Sri (Kemarilah, Sri)." Indung Ali memanggil.

Atik yang duduk bersimpuh di luar pintu, memutar arah tubuhnya. Dipandanginya lekat-lekat, anak perempuan satu-satunya itu. Sri Kemuning membenamkan pandangannya, ujung jari-jarinya jelas sekali gemetaran. Meskipun begitu, Sri sangat cantik. Rambutnya rapi digelung lebih tinggi dan polos, wajahnya didandani sederhana tanpa polesan. Sri mengenakan apok atau kemben berwana hijau dan kain panjang hitam yang dilapisi dengan benang emas sepanjang sisinya. Sebuah sampur atau selendang berwarna hijau menutupi bagian dadanya.

"Aku menaruh harapan besar kepadamu, Sri. Jangan lengah dan lemah oleh ketakutanmu. Sekali kamu gagal, maka kita akan kembali ke barak itu. Mungkin kita akan lebih menderita dari kehidupan sebelumnya."

Sri menelaah bisikan halus ibunya. Senyum datarnya berusaha mengembang, walaupun tekanan itu sangat terasa sekali. "Abdi ngartos, Bu (Aku mengerti, Ibu)."

Atik meraih jari-jari yang sudah diwarnai dengan daun pacar, kukunya yang menghitam kini sudah tidak tampak lagi. Atik tidak bicara lagi, akhirnya dia pun melepas jemari Sri yang menggelugut itu. Sri berdiri dan mengangkat kakinya, menuju ke arah pintu ruang tengah.

Wangi Cendana tercium lembut…

Sebagai seorang Ibu, Atik tahu… Dia adalah seorang ibu yang kejam. Atik memang menutup rapat, celah hati nuraninya. Dia sangat sadar, seharusnya tidak menempatkan Sri sebagai tumbal untuk keluar dari kesengsaraan hidup. Dia tidak segan mematahkan kedua sayap Sri, agar dia tidak terbang dan tidak lepas dari kendalinya.

Ketika tubuh Sri menghilang melewati pintu… Atik melemaskan bahunya, menghela napasnya panjang. "Semoga kamu tidak dendam kepadaku, Sri. Di sepanjang penderitaanku, aku harus mengorbankan semua yang berharga…"

.

Ujung alis putih Indung Ali turun, kelopak matanya menyempit. Perempuan dengan selendang hijau itu mendekat, kali ini tidak ada ragu yang bersaung di durja manisnya. Tidak ada yang berubah, Dari penerawangannya, sosok lain Sri Kemuning… Masih menggenggam dua buah tombak. Itu adalah pengambaran kuat yang belum terpecahkan. Tetapi Indung Ali tahu, leluhur menyukai Sri, dia jelas mencium bau Cendana yang pekat… Padahal semua penari memiliki wangi bunga.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang