Bab 58: Ular

93 22 6
                                    

***

Jari-jari Henri menangkup jam sakunya, gemerincing rantai yang terjuntai dari sisi kanan jas hitamnya bernada merdu. Diturunkan ujung topinya, sambil memindai keramaian pusat kota Buitenzorg. Dari balik jendela lobi hotel, pemandangan langit hari itu terlihat tidak terlalu cerah hari itu. Gumpalan awan-awan mendung juga tampak tersangkut di atas… Menggelantung… Tinggal menunggu kapan titahnya untuk jatuh.

"Is het regenseizoen begonnen? (Apakah sudah masuk musim penghujan?)" Mata birunya beringsut, menangkap papar cahaya redup dari mentari yang bersembuyi. Ada rasa berat, Sebenarnya Henri tidak ingin meninggalkan Buitenzorg. Dia ingin pergi jauh bersama Sri. Daripada harus kembali ke Desa Walangsari dan bergelut dengan kubangan masalah yang akan mereka hadapi.

"Maaf, kalau Meneer terlalu lama menunggu..."

"Ah, tidak apa-apa. Aku harus bertemu dengan sopir Jip yang akan membawa kita."

Henri menyelipkan kembali jam buatan Swiss itu dalam sakunya. Kerling pandangannya lekat ke arah Sri. Dia selalu menyukai Sri berdandanan secara sederhana. Polosan lipen merah tipis cukup membuat wajah perempuan manis itu merona segar. Sri mengepang dua rambutnya, lalu ujungnya disatukannya menyerupai gelungan sederhana. Hiasan Condroso dengan detil batu hijau terselip sebagai pelengkapnya, katanya benda cantik itu adalah pemberian Nyi Popon. Kebaya kain sutra berwarna coklat Khaki menyatu dengan eksotis dengan warna kulitnya. Selendang kuningnya serasi, tidak lupa sebagai pelengkapnya. Kain panjang motif daun Pakis dan bunga Loa dominan merah tua, seperti biasa dilipit dengan belahan yang membuatnya mudah bergerak.

Sri Kemuning mengeratkan kipas kayu cendana yang dia pegangnya, seraya melirik kain yang dikenakannya. Denyut nadinya bergejolak, dia setengah menundukkan wajahnya seakan tidak sanggup membalas tatap Sang tuan Walanda itu. "Apakah penampilanku terlihat aneh?"

"Nee… Cukup bagus, Sri. Kamu anggun dengan pakaianmu." Henri merangkul bahu Sri. "Kamu harus sarapan yang banyak, sebelum kita berangkat."

"Iya, Meneer."

Henri bahagia dengan sikap patuh Sri. Jarak yang dulunya terlihat, kini tidak lagi tampak antara Sang Raja dan penari Cadeau. Meskipun Henri harus tetap sadar, dia tidak boleh sepenuhnya terlalu larut dalam kegembiraan yang memabukan. Harus ada celah untuk berhati-hati. Di sepanjang lintas kehidupannya, Henri sungguh lebih memaham pekerjaannya daripada masalah percintaan. Tetapi keduanya memiliki persamaan... Manusia selalu memilih pihak yang menguntungkan dan menjauhi apa yang tidak menguntungkan. Saat ini, Henri menyukai Sri... Dia bisa membayangkan masa depan yang baik dengan Sri.

Beberapa mata pengunjung hotel, melirik mereka dengan raut tidak ramah. Sri yakin dari sikap mereka berbisik-bisik adalah untuk mengunjingkan dirinya dan Meneer Henri. Mungkin di hotel ini, seorang Walanda dan Pribumi duduk bersama di meja makan adalah pemandangan yang tidak biasa. Buktinya hanya dia sendiri, orang pribumi yang duduk di ruangan makan itu.

Sri mengambil sendoknya. Dia sudah belajar menggunakan alat bantu makan yang terbuat dari kuningan. Sri sudah bisa menggunakan garpu untuk membelah makanan manis yang bernama Koek, atau menggunakan sendok untuk menyuapkan jenis makanan berair ke dalam mulutnya. Kaku, tapi Sri juga ingin belajar menggunakannya.

Sarapan pagi itu, sup berwarna pucat, telur setengah matang, daging ikan dan roti yang enak tapi, menurut Sri itu terlalu keras.

"Kamu harus mencelupnya ke dalam sup." Henri jelas memperhatikan Sri yang kebingungan mengerogoti roti Baguette itu. Remahannya sampai berjatuhan.

"Ah… Ini keras, tapi enak," seloroh Sri dengan menutup mulutnya. Dia takut ada yang tersinggung dengan komentarnya.

"Potong kecil-kecil saja dengan tangan." Henri tertawa. Dia mengambil napkins yang terlipat di dekat Sri, dan segera membersihkan remahan Roti di kebaya Sri.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang