Bab 42: Sapu Tangan Tanda ?

86 20 9
                                    

***

Sri menangkup kedua pipinya. Rasa suam itu masih meninggalkan kesan yang mereyutkan sanubari terdalam. Siapa sangka—  Sang Tuan Walanda begitu perhatian dan lembut. Belum lagi, pancaran keindahan pualam biru miliknya—  bak pusaran kalibut yang menjerat siapa saja yang memandangnya.

Sri memandangi betul sapu tangan putih di tangannya.

Sekecil apa pun, kebaikan Meneer Henri sangatlah berarti. Padahal luka terparut itu adalah hal yang biasa saja, mungkin dirinya saja yang berlebihan karena berteriak.

"Ah, lihatlah tanganku ini. Kuku hitam dan ikatan sapu tangan ... kebaikan Meneer Henri menyatu di sini."

Sri mendekap tangan kanannya ke dadanya.

"Naon budak ieu seuri sorangan? (Ada apa anak ini senyum-senyum sendiri?)"

Sri hampir meloncat, teguran lembut itu mengejutkannya.

"Bukankah aku tadi menyuruhmu memarut kelapa di depan? Dupi anjeun rengse? (Apa sudah selesai?)" Nyi Jujun mendekatkan wajahnya.

"Su … Sudah .…"

Nyi Jujun mengangguk-angguk, sembari mengambil wadah parutan kelapa muda untuk pelengkap urapnya. Dia mengacak pinggangnya ... karena dapur kesayangannya begitu berantakan.   Sementara, Nyi Minah dan Nyi Popon masih sibuk mengipasi ikan sungai yang dihampar di atas tungku panggang, asap membumbung itu menembus langit-langit dapur. Di sisi lain, Nyi Naimah masih merebus beberapa sayur.

"Ah, Anjeun ngan ngantosan di luar (Kamu tunggu di luar saja). Dapur ini terlihat penuh kalau banyak orang, nanti kita malah terlambat menyediakan makan malam."

"Ta … Tapi .…"

"Kamu pasti takut dengan para tamu itu, Sri? Mau bagaimana lagi? Aranjeunna datang dadakan (Mereka datang dadakan)." Kekesalan Nyi Jujun berlipat-lipat, belum lagi dengan sikap tamu Walanda bertubuh gemuk itu juga membuatnya pusing.

"Nyi, kuring di dapur ngan hayang nulungan (Nyi, aku di dapur saja ingin bantu-bantu)."

Nyi Jujun kembali memandangi Sri. "Atawa meureun miluan Nyi Darsi jeung Nyi Sinar (Atau kamu menemani Nyi Darsi dan Nyi Sinar saja)," cetusnya.

Sri tambah menggelengkan kepalanya cepat-cepat, dia menolak duduk merawat Tuan Gemuk itu.

"Abdi nuju di dapur, Nyi (Aku di dapur saja, Nyi)."

Nyi Jujun memiringkan kepalanya, dia baru menyadari kalau tangan kanan Sri terbalut kain. "Loh? Kenapa lagi tanganmu?"

Sri langsung menyembunyikan tangannya ke belakang punggungnya. "Ta… Tadi terparut sedikit."

"Terparut? Lukanya parah?"

Nyi Jujun langsung menarik paksa tangan Sri. "Kuring bebeja anjeun lalajo leungeun anjeun! (Aku sudah bilang kamu harus menjaga tanganmu baik-baik!), bekas cidera kemarin belum pulih," omelnya.

"Ha… Hanya keparut sedikit…"

Akhirnya Sri pun mengalah, dia mengulurkan tangan kanannya. Nyi Jujun langsung menarik lepas sapu tangan itu dan memeriksa jari-jemari Sri.

Sri pun hanya bisa pasrah, melihat benda milik Meneer Henri terjatuh ke lantai.

"Oh, untung lukanya kecil. Luka seperti ini seharusnya kamu biarkan saja kering jangan di bungkus." Nyi Jujun menghena napas. Beberapa detik, kemudian dia menyadari Sri memandang nanar kain putih yang terjatuh di lantai itu.

"Ada apa kalian ribut-ribut?" Nyi Naimah menyusun beberapa wadah yang berisi sayur yang telah matang. "Kita ini sedang sibuk, Nyi."

"Ah, tidak apa-apa."

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang