Bab 15: Nyaris

75 15 3
                                    

***

Ka mana boboko suling

(Ke mana bakul seruling)

Teu kadeuleu-deuleu deui

(Tak nampak terlihat lagi)

Ka mana kabogoh kuring

(Ke mana kekasihku)

Teu kadeuleu datang deui

(Tak terlihat datang lagi)

Begitulah, Dewi Kamboja menyenandungkan kawih, tentang kehilangan dan kepedihan hati, mengenangkan suaminya yang tewas di tangan Penyamun.

Wulan berdiri di pinggiran pendopo Joglo. Sedari tadi dia menyimak kawan-kawannya menari. Beberapa penari memang punya ciri khas sendiri. Nyi Popon adalah Pesinden. Dia adalah satu dari penari Cadeau yang tidak harus untuk menari, dikarenakan ada beberapa Kawih atau lirik yang tidak boleh dinyanyikan sambil menari. Nyi Darsi adalah penari yang anggun, bahu dan lehernya menunjukkan gesturnya bagai perempuan bangsawan, dia memiliki suara yang rendah dan mendayu. Nyi Naimah dan Nyi Jujun adalah penari termuda. Meskipun mereka menari dengan malu-malu, tetapi banyak pria yang mengibing di sekitar mereka. Kalau Nyi Minah dan Nyi Sinar lebih pandai menggoda penonton dengan bagian pinggulnya... Pernah suatu kali seorang penonton mencoba menyentuhkan alat vitalnya ke bagian bokong Nyi Minah... Ki Ali pun langsung menyuruh penjaga yang pandai pencak silat, memukuli pria itu sampai sekarat.

Penonton pun terlihat semakin panas, semakin banyak yang naik atau mengibing ke bersama mereka artinya kotak saweran milik Indung Ali sudah penuh. Belum lagi beberapa hadiah-hadiah khusus untuk mereka. Minuman alkohol juga mulai dijejalkan kepada mereka, entah dari mana minuman itu berasal. Jika tidak dapat tidur dengan Sang Penari, paling tidak mereka lepaskan penat dengan menari dan minum gratis.

Wulan kembali ke belakang pendopo Joglo, memilih menyendiri. Dia melepaskan selendangnya dan menghempaskannya ke atas kursi Bongkotan yang terbuat dari bambu. Wulan menjatuhkan semayam duduknya, hingga suara gemerincing hiasannya ikut berbunyi. Wulan... tetap tidak ingin menari.

Pikiran Wulan tidak pun berada di tempat yang dia inginkan, padahal seharusnya malam ini dia menemui Meener Henri. Wulan tidak tahu caranya untuk kabur, karena Indung Ali sudah membawanya paksa tempat pertunjukan.

"Apakah kamu tidak menari, Nyi?"

Wulan mengarahkan pandangannya, suara pria bercampur berlogat asing itu berdiri di atas lantai pendopo yang lebih tinggi darinya. Wulan mengenal pria berkumis itu, karena dia adalah salah satu Tentara yang bekerja dengan Meneer Henri.

"Tidak..."

Dengan memelintir ujung kumisnya, pria itu menuruni anak tangga mendekati Wulan. "Bukankah Meneer Henri sudah menunggu di rumahnya?" Mata cokelatnya tidak melepaskan tatapannya.

"Aku tahu." Wulan tersenyum tersenyum getir. Tetapi dia tidak bisa kabur...

"Apakah itu berarti... Malam ini Nyi bebas menari bersama pria lain?"

Wulan tidak menjawab cepat. Pria itu mengeluarkan sesuatu dari tangannya, dia melempar-lemparkannya di atas tangkapannya. Suara berat itu jelas adalah gemerincing Gulden yang sangat banyak. "Aku berani membayarmu tinggi, jika kamu memilihku dengan selendangmu," ucapnya dengan logat asing.

Wulan menelan ludahnya. Tatapan pria itu mengkilap. Pancaran penerangan obor-obor merah di sekitar mereka tampak membara di pupilnya. Lantunan gamelan semakin penuh dengan suara penabuh Kendhang, mengisi kebisuan di antara mereka.

"Aku tidak akan menari di sini. Lagi pula, hanya Meneer Henri yang bisa memilikiku." Wulan menolak tegas. "Maaf, Meneer. Semoga beruntung mendapatkan satu dari enam penari Cadeau di panggung itu."

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang