***
Atik melandaikan ujung kakinya. Dipan bambunya berderit ketika pinggulnya menyarut letak duduknya. Matanya mengerdip cepat, menampik cahaya silau yang menebus dari cela angin-angin jendela kamar itu. Segera dirapikannya cepolan rambutnya yang tak lagi hitam sempurna. Atik berdiri, seraya menyibak tirai lusuh jendela. Suara khas sapuan sapu lidi terdengar di luar sana, menandakan bahwa dia bangun sedikit kesiangan.
Atik memijat keningnya, rasa nyeri itu langsung menusuk, karena semalaman Atik memang tidak bisa tidur nyenyak.
Musik gamelan dan nyanyian penari Cadeau itu terngiang-ngiang di benaknya. Banyak pertanyaan menarik di kepala Atik atas pertunjukan itu. Terutara para pekerja yang rela menggelontorkan semua kantong-kantong Gulden hasil kerja keras mereka... Padahal sebanyak apa pun kantong uang itu masuk ke kotak kayu Indung Ali, Penari Cadeau hanyalah akan pergi dengan pria-pria yang mereka pilih dengan selendangnya.
Atik menguap,memecahkan renungannya. Dia beralih, memandangi tubuh Sri yang masih telungkup. Pelan-pelan dia mengangkat tangan Sri yang masih terbungkus kain, bau tembakau itu sangat menyengat. Atik pun sendu memandangi beberapa kuku jari putrinya yang sudah menghitam.
"Anakku Malang, seandainya aku bisa membawamu ke tempat yang lebih baik dari ini." Atik membelai rambut kusut Sri. Mimik wajah polos itu membuat Atik tersenyum, paling tidak anak gadisnya terlelap dengan damai di sebuah kamar yang layak.
***
"Hapunten (Permisi)."
"Eh punten. Kamana anjeun nyalira (Kamu mau kemana sendirian), Tik?" Sopiah mengangkat wajahnya, dia baru saja selesai menyapu halaman depan baraknya.
"... Mau ke sungai mencuci," jawab Atik sambil menahan bakul di atas kepalanya.
"Oh, hari ini juga libur?"
Atik memandangi perempuan yang hanya mengenakan kain sarung itu, terlihat banyak bekas memar di lehernya. "Iya, hari ini libur..." Atik menurunkan keranjang dari kepalanya ke pinggangnya. "Kunaon éta? (Itu kenapa?) Apa banyak nyamuk semalam?" Atik polos menunjuk bekas hitam keunguan di leher dan dada Sopiah.
"Hahaha. Apa kamu ini pura-pura tidak mengerti, Tik?"
Atik mengernyitkan dahinya. "Lha, aku henteu ngartos, Neng!" Atik jujur memang tidak mengerti.
Sopiah memainkan sapu lidinya. "Biasa, kabogoh menta jatah," bisiknya genit.
"Jatah?" Atik baru ingat. Semalam salah satu mandor memang sembunyi-sembunyi memanggil Sopiah. "Astaga! Apa boleh begituan di barak?"
"Ya, boleh. Daripada Kang Mandor Ompong bayar mahal untuk..." Perkataan Sopiah terhenti, dia memperhatikan sekitarnya.
"Bayar mahal untuk apa, Neng?"
"Shhh... Aku tidak ingin membicarakannya," bisik Sopiah.
Atik mengerutkan dahinya, tentu dia menangkap lanjutan kalimat Sopiah. ".Apa maksudmu... Membayar penari semalam?" tebak Atik.
"Iya..." Sopiah masih celingak-celinguk dia takut para penjaga barak memperhatikan mereka.
Atik penasaran, dia ingin tahu banyak tentang penari-penari itu. "Neng, apakah penari itu akan menikah dengan pria yang dikalungkan selendang?" Atik bertanya lagi. "Eta hartina... Meneer-meneer Walanda itu akan menikah dengan penari pribumi itu?"
Sopiah sampai tidak jadi melangkah kembali ke kamarnya. Dia merangkul bahu Atik. "Atik... Sabaraha yuswa Anjeun?" Sopiah menanyakan umur Atik.
"Umur? Abdi henteu émut (Aku tidak ingat). Tapi aku sudah tua... Mungkin sekitar 50 tahun." Orang tua Atik memang tidak pernah memberitahunya, mereka terlalu sibuk membuat banyak anak dan bergelut dengan kemiskinan sama seperti nasibnya sekarang..
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat Sang Penari
RomanceTerhimpit kemiskinan, kelaparan dan terluntang-lantung di jalanan... Atik memutuskan untuk bergabung sebagai tenaga kerja Rodi, di sebuah perkebunan milik Tuan berdarah Netherlands. Mereka pun harus pindah ke Desa Walangsari dan tinggal di barak pek...