***
Mentari terlihat lebih rendah setelah melewati tengah hari, cuaca pun tidak terlalu gerah. Ketika suara sirene panjang berbunyi, mereka harus buru-buru menyelesaikan pekerjaan mereka di perkebunan. Ambul berisi yang dibawa para pekerja itu ditimbang lalu dicatat, setiap 20 kilo ambul hanya mendapat 5 sen saja.
Sri mengeratkan tali di bahunya. Kakinya sedikit goyah, ketika mengangkat ambul berisi hasil kerja kerasnya. Hari ini dia cukup puas, biji-biji kopi yang dipilihnya di hargai 4 sen, tidak buruk. Sri berharap, besok dia mendapatkan hasil yang lebih baik.
Tetapi ada yang membuat Sri sedih, dia tahu Ibunya dijauhi oleh para pekerja. Kelihatannya mereka sangat takut, sikap aneh ibunya akan membawa imbas kepada pekerja lainnya. Padahal, kejadian yang lalu itu terjadi, karena Sang ibu membela anaknya yang dilecehkan.
Sri?"
Sri yang sibuk menggelung rambutnya menoleh ke arah Suci. "Ada apa?"
"Lihat, itu kang Edi," bisik Suci.
Sri melirik ke arah jari Suci Mengarah. Edi tampak berbicara serius dengan Ki Sedan. Tetapi raut wajah Ki Sedan tidak terlihat emosi atau pun marah kepada pria Sumedang itu.
"Tidak ada pekerja yang bisa berbicara tenang seperti itu dengan Ki Sedan."
Sri tersenyum. "Kang Edi memang orang terpelajar, baik hati dan suka menolong, Mungkin Ki Sedan menyukainya sikap sopannya."
"Kumaha hubunganana sareng Kang Edi? (Bagaimana hubunganmu dengan Kang Edi?)," celetuk Roron.
Sri diam sejenak. "Kami ... hanya teman biasa. Tidak ada yang spesial." Padahal Ibunya sudah melarang mereka untuk berdekatan lagi.
"Oh? masih berteman saja?"
Sri tersenyum datar membalas pertanyaan itu. Dia pun mengikuti langkah Suci dan Roron ke arah sungai untuk mengangkat air. Mereka akan melakukan pekerjaan terakhir mereka sore ini.
"Teu kaduhung (Jangan menyesal, loh). Susah cari pria baik seperti Edi," goda Roron lagi.
"Hm, urang ngan babaturan. Kang Edi ogé bageur ka sadayana (kami hanya teman saja. Kang Edinya juga baik dengan semua orang)," pungkas Sri.
"Iya juga, si ... Kalau mereka berdua tidak mau, masa kita paksakan untuk berjodoh." Suci tertawa.
"Eh sudah... Ada mandor! Nanti kita ditegur lagi." Sri sengaja mengingatkan mereka.
Mereka ikut berbaris di antara kerumunan orang di depan sungai. Masing-masing pekerja harus memikul 2 ember untuk menyiram tanaman di perkebunan.
Tiba-tiba seseorang menepuk lengan Sri. Ketika Sri menoleh ternyata ibunya mendekatinya di luar barisan.
"Ibu? Ibu cepat berbaris."
"Kamu tidak boleh mengangkut air ... Nanti kamu cidera, sore ini kita akan bertemu dengan Ki Ali. Biar ibu saja yang mengangkut ember-embermu."
Sri membesarkan matanya. "Ti... Tidak... Henteu kedah ... tidak usah, Bu. Sri bisa kok."
Suci juga terkejut karena Atik berdiri di samping mereka. "Bu, segeralah berbaris ke belakang. Nanti mandor Ki Sedan marah lagi," ucap Suci mengingatkan.
"Benar, Bu. Bukankah Ibu baru sembuh?" Roron juga mengingatkan.
"Tidak, Sri tidak boleh cidera terutama di bagian bahu. Dia harus bersiap-siap untuk menjadi pengantin penari Cadeau." Atik tidak perduli dengan Ki Sedan.
"Apa? Pengantin? Penari?" Tentu saja kedua kawan itu Sri tidak mengerti.
"Ibu..." Sri menarik tangan ibunya, sampai keluar dari barisan. "Jangan memberitahu berita yang tidak pasti. Kita ini belum tahu apakah aku diterima."
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat Sang Penari
RomanceTerhimpit kemiskinan, kelaparan dan terluntang-lantung di jalanan... Atik memutuskan untuk bergabung sebagai tenaga kerja Rodi, di sebuah perkebunan milik Tuan berdarah Netherlands. Mereka pun harus pindah ke Desa Walangsari dan tinggal di barak pek...