Bab 22: Berubah

88 18 0
                                    

***

"Naha aranjeunna nyiksa anjeun? (Apakah mereka menyiksamu?)"

Atik yang baru pulang dari perkebunan terkejut melihat mata Sri bengkak karena menangis. kulit tangan dan betisnya pun merah-merah, tetapi Atik mengendus wangi segar dari tubuh Sri.

"... Mereka memotong semua buluku, Bu..." Sri masih mengadukan penderitaan kepada sang Ibu. "Kulitku juga digosok pakai batu!"

Atik mendelik, ujung alisnya berkerut. Dia jadi paham kenapa kulit Sri merah-merah. Bagaimana lagi, mereka dulunya hidup di pinggir jalan dan selalu berada di lingkup lingkungan luar. "Jangan cengeng begitu. Mungkin mereka menggosokmu, supaya kulitmu bersih," kata Atik. "Lihat saja semua Perempuan-perempuan di sini berkulit bersih dan bercahaya."

"Tapi gering (sakit), Bu. Ini juga masih nyeri kalau diusap," eluh Sri seraya memamer kulit tangannya yang merah-merah. "Sri rék balik deui ka barak! (Sri mau pulang ke Barak!)" Sri meringkuk, memeluk manja lengan ibunya.

"Heeh... Jangan begitu." Atik menepuk dahi Sri.  "... Kamu pasti bisa melalui ini, Sri."

"Tapi sangat susah, Bu. Apalagi ketika lapar dan harus menghapalkan syair lagu yang panjang-panjang. Sri merasa lemas dan kepala sangat nyeri atawa mungkin, Sri bodo pisan (karena Sri sangat bodoh)." Sri masih senewen, ujung bibirnya merengut.

"Teu bodo… Kamu bukan bodoh, kamu hanya belum bisa, makanya kamu harus belajar. Nantinya juga terbiasa" Atik mengusap-usap rambut Sri. Atik menyadari rambut putrinya yang dulunya kusut, kini begitu halus.

"Aku juga sangat lapar, Bu. Biasanya jam segini, Sri makan nasi pakai tempe dari jatah barak." Sri berdengus. Dia merasa tubuhnya sudah lemas. Tidak pernah terbayang di benaknya... Dia hanya makan pisang raja dan air 1 cangkir selama 40 hari. Sri ingat, ketika dia tinggal di jalan, dia kelaparan bersama ibunya... Meskipun begitu, ibunya pasti mencarikan makanan untuk sekedar mengganjal rasw laparnya.

"Permisi." Nyi Wulan dan Nyi Sinar datang membawa nampan. "Ni Atik, ini silahkan dimakan makan malamnya."

"Ini... Kanggo abdi? Untuk aku?" Atik melongok, ketika kedua perempuan cantik itu meletakkan beberapa makanan. Nasi wangi Pandan, ayam bakar, ikan kuah kuning, sayur asem, dan potongan buah Pepaya.

"Iya, Nini kan baru pulang dari bekerja, kudu capé," ucap Nyi Sinar sambil meletakkan teh panas dan air kendi untuk minum.

Sri juga terpaku melihat makanan-makanan mewah itu disajikan. Dari wanginya saja cukup membuat air liur Sri meleleh.

"Nyi, apa aku tidak boleh ikut makan?" Sri mengusap perutnya yang keroncongan. Dia terpaksa memasang wajah iba.

Nyi Wulan menggelengkan kepala. "Tidak, Sri sudah makan pisang raja dan minum air putih tadi... Masih harus puasa."

"Ta... Tapi..." Sri menelan air ludahnya. Dia saja belum pernah makan yang namanya ayam!

"Kamu mau pecah, Sri?" Tanya Nyi Sinar. Dia melirik ke arah Ki Ali yang duduk di halaman depan bersama penjaga lainnya.

"Tidak." Akhirnya Sri berdiri dan pindah ke kursi lain. Dia tidak mau tersiksa melihat ibunya makan.

"Sabar ya, Nak," ucap Atik tertawa.

***

Malam itu, Sri tidak bisa tidur. Mendengar suara burung malam dari kejauhan, Sri menebak waktu sudah memasuki tengah malam. Sri memiringkan tubuhnya, menarik selimutnya setinggi dada.

Sri berkedip di antara kegelapan kamarnya. Rasanya... Ada yang kurang dan membuatnya gelisah. Padahal kasur itu begitu wangi dan empuk, kamar itu juga bersih, luas dan tidak pengap. Para penari Cadeau yang baik hati itu, juga turut membantu membersihkan kamarnya. Sri menghela napas, dipan di Barak memang sangatlah keras. Ketika mereka bangun, yang ada tulang punggung mereka sakit... Tapi... Sri merasa hangat di sana, karena ada ibunya.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang