Bab 21: Belajar

90 19 6
                                    

***

"Abdi tiasa cicing di dieu, Ki? (Aku boleh tinggal di sini, Ki?)"

"Iya, di sebelah kanan. Ada satu rumah yang kosong, tadinya untuk gudang. Tapi, kamu boleh tinggal di sana. Sampai masa ritual ini selesai."

Sri berbinar-binar, tentu saja keinginannya besar untuk pindah dari barak di sana. Rumah bedeng untuk penari Cadeau sangat bagus, mereka punya kamar mandi di dalam rumah dan dilengkapi dengan dapur yang luas.

"Kalau Ibuku? Naha indung abdi diidinan cicing di dieu ogé? (Apakah ibuku juga boleh tinggal di sini?)"

Indung Ali yang mengambil korek apinya. Lintingan kulit jagung yang sudah kaku di tangannya, dan langsung dia selempitkan ke ujung bibirnya.

"Maaf, Sri. Ibumu tidak bisa tinggal di sini, kecuali kamu sudah menjadi sebagai Penari Cadeau."

Binar ekspresi Sri yang tadinya senang pun langsung meredup. "Maaf Ki, aku tidak bisa berpisah tinggal dengan ibu ...."

"Aku menyuruhmu pindah kemari, agar dirimu terjaga selama ritual," ucap Ki Ali sambil menyesap lintingan rokoknya. "Karena aku tahu, keamanan di barak itu tidak cukup baik."

Sri tetap tidak ingin berpisah dengan ibunya.

Hari ini adalah hari kedua Sri berpuasa. Sri sudah tidak lagi bekerja tenaga Rodi sebagai di perkebunan. Sri sudah terbiasa bangun dan bekerja di perkebunan pagi-pagi sekali, sehingga ketika sudah lewat setengah hari, rasa bosan mulai terasa. Sedari pagi dia hanya duduk-duduk di teras. Sedangkan, Para penari Cadeau sedang sibuk di dalam rumah mereka masing-masing.

"Kamu tidak merasa lemas? Haus?"

"Tidak, Ki. Justru kebingungan karena tidak melakukan apa pun. Rasanya aku ingin kembali ke perkebunan saja."

"Tunggulah sebentar, Nyi Popon dan Nyi Sinar sedang menyiapkan sesuatu."

Sri mengangguk, kemudian menopang dagunya saja.

"Apa kamu bisa membaca, Sri?"

"Bisa sedikit, Ki ... Ibu pernah menyuruhku ikut sekolah gratis di daerah pasar."

"Oh, itu bagus sekali. Berarti tidak ada kendala dalam menghapal kawih lagu."

"Kawih? Maksudnya syair nyanyian, Ki?"

Indung Ali tersenyum saja. Dia berdiri ketika seseorang mendekatinya dan membawa buluh bambu.

"Permisi Ki, ini jorannya," ucap pria itu seraya mengulurkan buluh bambu yang berukuran panjang.

"Hm? Apa joran ini sudah siap?" Tanya Indung Ali.

"Iya, Ki. Ini joran milik saya."

Sri tahu, Pria berumur 60 tahun itu hendak memancing. Wajar saja sungai tidak terlalu jauh dari sini. Sri memang sempat melihat ikan-ikan berukuran besar sedang berenang di akar-akar pohon yang menjulur ke sungai.

"Sri ..."

Suara lembut itu terdengar dari sisi rumah lainnya. Seorang wanita berwajah Tionghoa tersenyum dan memanggilnya dari sana.

"Iya, Nyi Popon." Sri bergegas mendekatinya.

Perempuan dengan kebaya encim Nila itu langsung mengandeng tangan Sri masuk ke dalam rumahnya. Sri cukup gugup, karena dia belum pernah menginjakkan kakinya bertamu ke dalam rumah orang lain secara pribadi.

Wajah Sri pun terkagum-kagum melihat dekorasi ruang tamu yang didominasi dengan warna merah.

"Duduk di sini saja, Sri. Di luar panas," ucap Nyi popon yang masuk ke kamarnya.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang