35: Menstruasi

110 21 9
                                    

***

"Ni, ini Jamu kunir asemnya."

"Hatur nuhun, Nyi Jujun," ucap Atik seraya menerima batok kelapa yang diulurkan kepadanya, cairan kental berwarna kuning tua itu berbau sangat khas.

"Bagaimana, Sri?" Nyi Jujun mengusap kening Sri yang masih terlihat pucat, kulitnya masih terasa dingin. Perempuan 14 tahun itu masih mengigil di bawah selimut batiknya.

"… Leuwih alus (Sudah lebih baik), Nyi..." jawab Sri dengan intonasi lemah.

"Kalau kain bebat itu sudah dingin, kamu boleh melepasnya, Sri," ujar Nyi Popon mengingatkan. Dia masih memijat-mijat kaki Sri.

"Iya, Nyi Popon." Sri mengusap kain kompres panas di perutnya. Rasa hangat itu membuat rasa aneh di dalam perutnya… Ada pergerakan yang tidak biasa, diselingi dengan rasa sakit.

Atik menyusun beberapa potongan kain yang akan digunakan Sri. Kesan semalam sangat luar biasa. "Setelah ritual Hata, Sri memang tidak berdarah… Tapi Sri dapat haid pertama," kelakar Atik.

"Artinya secara kejiwaan Sri memang tertekan, Ni. Ritual Hata memang tidak mudah." Nyi Jujun mengusap keringat Sri yang masih meleleh.. "Hayu, Sri kedah nginum Jamunya (Sri harus minum dulu Jamunya)…"

Sri menegakkan punggungnya Dia berdeham beberapa kali, karena sakit tenggorokan. Belum lagi, nyeri yang menyerang di bagian kepala hingga bagian perutnya. Wajah Sri sangat pucat berpeluh deras, ditambah rambutnya juga berantakan. Penampilan Sri layaknya orang sakit berat.

"Kenapa bisa aku haid?" Sri melenguh sendu, seraya memegangi perutnya.

"Itu normal, artinya Sri téh wanoja anu geus siap dewasa (Sri sudah menjadi perempuan yang siap tumbuh dewasa)," ucap Nyi Popon.

Atik tersenyum, mendengar kalimat lembut yang diucapkan Nyi Popon. Perempuan keturunan Tionghoa itu terlihat lebih keibuan dibandingkan dirinya.

"Nanti lipatan kain yang kotor segera dicuci bersih dan masukan di besek saja. Nini Atik, ngartos (mengerti)?" tanya Nyi Jujun.

Atik mengangkat bola matanya, dia memang selesai memotong beberapa kain. "Oh, kain untuk haid ini? Sebenarnya aku tidak mengerti. Kalau dulu aku lebih banyak jongkok dan hanya pakai jarik… Kalau dibawa bekerja, nanti meleleh ke sendiri ke bawah atau jarik."

Nyi Jujun dan Nyi Popon berpandangan.

"Maklum, dulu tidak ada yang memberitahu, apalagi sekarang aku tidak haid lagi." Atik memang tidak Haid lagi setelah melahirkan Sri, entah apa yang terjadi.

"Naha bade nyobian nginum jamu ti urang, Ni? (Apa mau coba minum jamu dari kami, Ni?)"

"Ah, tidak usah. Aku lebih nyaman sekarang." Atik duduk di samping Sri yang masih meneguk jamunya.

"Kalau begitu kami keluar dulu." Nyi Jujun mengusap sekali lagi kepala Sri. "Yang penting, Sri harus beristirahat."

"Iya, selamat Istirahat, Sri." Nyi Popon menepuk-nepuk kaki Sri. " Lamun aya kajadian, ulah ragu ngahubungan kami, Ni. (Kalau ada apa-apa, jangan sungkan memanggil kami, Ni)."

"Iya." Atik Menyenggukkan kepalanya. Dia berdiri setengah menunduk, tanda hormat ketika kedua perempuan itu beranjak pergi.

Setelah pintu tertutup rapat, Atik kembali duduk di ujung ranjang memandangi Sri yang sudah selesai meneguk jamunya. Di pagi hari, kondisinya semakin lemas. "Tiduran saja, Nak."

"Iya, Bu." Sri berdengus lemas. "Seluruh tubuhku benar-benar tidak nyaman… Rasanya seperti remuk dari ujung ubun-ubun hingga ke kaki."

Atik mengusap leher Sri yang tampak mengkilap karena cucuran keringatnya. "Haid memang tidak nyaman, tapi kamu harus terbiasa. Benar kata Nyi Popon, kamu sudah menjadi seorang perempuan yang beranjak dewasa."

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang