***
"Loh, Tik? Kamu dari mana? Teu nyeri? (Bukannya kamu sakit?)"
Sopiah yang baru pulang dari perkebunan terkejut, ketika berpapasan dengan Atik yang berjalan dengan wajah kesakitan. Sopiah langsung mendekati perempuan yang babak belur itu, penampilannya pun berantakan.
"Ti walungan! (Dari sungai!)"
"Gelo (Gila)! Kalau mau pipis kan bisa di semak-semak atuh dekat barak. Bagaimana kalau kamu terpeleset? Terus ngaleungit? (hilang?)"
Atik hanya meringis saja. "Enya, geuning mayit mah kapanggih di walungan Cisadane!(Ya, Paling-paling mayatku di temukan di sungai Cisadane!)"
"Hush! Sini kupapah. Karunya manéh, demi Sri jadi kieu (Kasihan sekali kamu, demi Sri sampai begini)." Sopiah memapah lengan Atik. "Lagi pula, melayani Mandor Ki Sedan pasti kamu juga akan dapat Gulden banyak," bisiknya.
"Aku pokoknya tidak rela anak perempuanku ditiduri oleh pria-pria sampah di sini," celetuk Atik. "Miskin, awon (jelek), burik!"
Beberapa orang pria yang berjalan di depan Atik sampai menoleh. Mereka tidak suka mendengar ucapan Atik. "Hei, Nini kentut kolot! Apa maksudmu mengatai kami sampah."
Atik tertawa sinis. "Apakah kalian merasa kalian sampah? Selain burung burik kalian dan Gulden tipis itu apa yang banggakan di sini?"
"Dasar tua bangka kurang ajar!"
"Atik!" Tegur Sopiah.
"Apa kalian mau juga memukulku? Ayo! Teunggeul! Pukul!" Atik langsung melepaskan rangkulan Sopiah. Dia langsung membusungkan dadanya, tanda dia takut jika ada yang ingin memukulinya lagi.
"Eh, sudah-sudah." Sopiah menarik tangan Atik. "Maaf, Kang… Dia sedikit..." Sopiah menyilangkan satu jarinya ke dahi, tanda tidak waras.
"Aku tidak gila! Ayo, pukul aku, pria burik!"
"Sudah kita pergi... Orang sinting untuk apa diladeni!" Para pria itu pun segera menjauhi Atik.
"Hei! Ayo! Pukul aku!" Atik masih berteriak.
Sopiah masih berusaha menahan lengan Atik. Dia pun cukup heran, perempuan ini sepertinya malah kecanduan untuk disiksa. Beberapa orang yang melintas, bahkan para mandor yang menaiki kuda juga, cukup kebingungan melihat tingkah Atik yang terus berteriak di pinggir jalan.
"Naha, Atik? kamu kenapa? Kamu ini cidera!" Sopiah akhirnya melepaskan tangannya karena malu.
"Aku tidak apa-apa. Aku hanya lelah!"
"Kalau lelah, berhentilah berteriak! Ayo, kita pulang. Kamu harus tidur untuk memulihkan tenagamu." Sopiah mengacak pinggangnya, seraya mengamati penampilan Atik yang berantakan... Bahkan rambut putihnya saja terlihat kusut. "… Kamu terlihat sangat menyedihkan, Atik."
Atik mengusap peluh yang meleleh di pipinya. Penatnya tak ingin ingkar, kesabarannya sudah melabuh di tepian batas... Sudah cukup dia berpura-pura tabah dengan nasibnya, padahal kondisinya tidak baik-baik saja. Atik sudah tidak perduli dengan kata-kata bijak atau kata-kata prihatin. Semua itu, sama sekali tidak membantunya.
"Apakah kamu puas dan senang ketika melayani mandor ompong itu?" Atik mendongakkan wajahnya. "Nanti malam penari Cadeau itu naik panggung. Apakah artinya kamu juga akan memberikan jatah untuk burung Mandor jelek itu?"
Sopiah membesarkan matanya. Tatapan mereka berdua langsung beradu keras, padahal tadinya Sopiah lah yang hendak menenangkan Atik, dia malah ikut-ikutan kena getah emosinya. "Ah, terserah kamu lah!" Sopiah kesal, dia langsung pergi meninggalkan Atik.
"Loh apa aku salah bicara?"
"Terserah kamu!"
Atik tertawa. Dia justru senang Sopiah menjauhinya. Atik tidak mau, jika suatu hari perempuan itu mempengaruhi otak Sri untuk mendapatkan Gulden dari para pria-pria sampah yang tinggal di barak!
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat Sang Penari
RomanceTerhimpit kemiskinan, kelaparan dan terluntang-lantung di jalanan... Atik memutuskan untuk bergabung sebagai tenaga kerja Rodi, di sebuah perkebunan milik Tuan berdarah Netherlands. Mereka pun harus pindah ke Desa Walangsari dan tinggal di barak pek...