***
Teriakan Sri cukup keras. Dia benar-benar tidak siap terjungkal, dari atas batu itu. Tubuhnya goyah dan terpeleset, bagian kepalanya lah yang langsung terjun duluan ke dalam sungai. Walaupun Sri bisa berenang, tetap saja dia kelabakan… Apalagi dia menghirup air dari hidung dan menelan banyak air.
"To— Tolong— " Sri masih berusaha berteriak, selama wajahnya masih bisa menyembul ke luar air. Matanya perih, pernapasannya luar biasa kacau. Sri menggapai-gapai apapun tanpa bisa melihat sekelilingnya. Batu sungai di sekitarnya sangat dekat… Entah mengapa dia begitu sulit menggapainya.
"Hei? Kamu tidak apa-apa?"
Telinga Sri mendengar itu… Samar-samar bayangannya itu tidak terlalu jelas di pelupuk indra pengelihatannya. Entah siapa pun… Sri hanya berusaha menaikkan tangannya saja.
"Hei, tenanglah…"
Sri tahu, si pemilik suara berat itu menangkap tangannya, dan menarik bahunya. Pria itu menahan tubuhnya agar dia bisa berdiri. Sri langsung terbatuk-batuk, dia memuntahkan air yang terasa tersangkut di tenggorokannya. Kesadaran itu seperti menghantup kepalanya, bercampur rasa sakit, karena air masuk ke dalam hidungnya!
Beberapa menit kemudian… Sri menyadari ke dalaman sungai tempatnya tenggelam tadi… Ternyata tidaklah dalam. Tetesan air berjatuhan dari rambut dan pakaiannya... Sri mengusap wajahnya yang tertutupi rambut. Sri tercenung, merasa sangat bodoh.
"Kamu tidak apa-apa?"
Suara pria bertanya lagi.
Sri mengedipkan kelopaknya, dia memindai sosok pria yang menolongnya tadi. Tangan pria itu masih memegangi kedua lengannya… Pria itu berkulit pucat, berambut pirang, wajahnya memiliki tulang rahang yang tegas dan bermata... Biruuuuu?
"Meneer Henri!" Pekik Sri. Dia benar-benar terkejut, sampai-sampai menepis tangan Meneer itu dan terjungkal kembali ke dalam sungai.
Henri pun membiarkan saja perempuan itu terduduk lagi ke dalam sungai yang hanya seperutnya. "Apa kamu mengenaliku? Lalu apa yang terjadi?"
Rasa keterkejutan Sri belum habis. Dia masi melangah, tidak mempercayai siapa yang menolongnya. Berarti pria pucat yang berdiri di seberang sungai tadi adalah pemilik perkebunan desa Walangsari, Meneer Henri?!
"Ma… Maaf, Meneer! Aku mengira Meneer tadi Dedemit!" Sri langsung beranjak, dengan basah kuyup dia langsung bersimpuh di dekat kaki Henri. Rasanya Sri ingin memaki kebodohannya, betapa memalukan kejadian tadi!
Henri diam. Dia bergegas menepi ke pinggir sungai dan mengambil senapan yang diletakannya tidak jauh darinya. Dipandanginya perempuan yang berantakan itu.
"Apa itu Dedemit? Atau jangan-jangan kamu terkejut melihatku berdiri di seberang sana?"
"... I... Iya..." Sri menundukkan kepalanya. Tetesan air masih berjatuhan dari rambutnya... Jantungnya berdegup sangat kecang. Oh, tuan Walanda ini memegang senapan... Apakah dia akan menembakan senapan itu kepadaku?"
"Oh, pantas saja. Untung arus tidak begitu deras dan dalam, karena air sungai belum pasang," ucap Henri sambil menyangkutkan tali senapannya di bahunya. "Apakah kepalamu tidak terbentur?"
Sri menggeleng, dia tidak tahu. "Maaf, jika merepotkan Meneer Henri..."
Ujung bibir Henri sedikit terangkat. Dia masih tidak mendapat jawaban… Bagaimana Perempuan ini mengetahui namanya? Oh, mungkin karena aku adalah pemilik perkebunan… Batin Henri mencari jawabannya sendiri.
"… Bukan masalah. Apa yang kamu lakukan di sini sendirian?"
Sri sendiri bingung, dia begitu gundah memikirkan ritual Hata! "Aku... Aku sedang berlatih," jawabnya pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hikayat Sang Penari
RomanceTerhimpit kemiskinan, kelaparan dan terluntang-lantung di jalanan... Atik memutuskan untuk bergabung sebagai tenaga kerja Rodi, di sebuah perkebunan milik Tuan berdarah Netherlands. Mereka pun harus pindah ke Desa Walangsari dan tinggal di barak pek...