Bab 48: Raja Yang Menolak

121 23 11
                                    

***

Pelita-pelita kecil sudah dinyalakan. Jejeran kelap-kelip obor menyala merah di sepanjang area panggung yang tidak terlalu besar itu. Daun-daun kelapa muda tampak menghiasi di sisi kanan kiri panggung itu. Bau kemenyan pun ikut berbaur di tengah-tengah sesajen yang sudah dibacakan mantra. Dan khusus untuk penabuh gamelan akan dibuatkan panggung dengan lebih panjang dan lebih tinggi dari permukaan tanah ... tidak ada kursi, semua penonton Walanda itu harus duduk di alas papan yang ditutupi dengan tikar.

Sesuai permintaan Indung Ali, rumah besar yang biasanya terang benderang karena aliran modern listrik pun harus dimatikan. Sesuai tradisi wajah Penari Cadeau akan tampak lebih cantik dikala terbias sinar dari api obor.

Uniknya, malam itu tepat tanggal 14 … Bulan purnama hampir mencapai pucuk angkasa yang bening, tanpa awan. Sinarnya beradu dengan kemerahan menjatuhkan bayangan yang magis ke alat-alat gamelan yang siap dimainkan.

"Ayo, lebih cepat jalannya, Sri."

Sri masih gemetaran, kakinya terasa dingin ketika menapak turun dari kereta. Gejolak di dalam dadanya juga tidak mau berhenti dan terus-menerus merenyut keras otot jantungnya. Bahkan, Sri bisa merasakan debaran itu … sampai ke ujung ubun-ubunnya. Akhirnya, dia melangkah lebih cepat, menyusul kakak-kakaknya yang berjalan di depan.

Mereka disuruh mengikuti seorang pelayan menuju ke dalam rumah besar itu. Hanya ada beberapa obor dan lampu minyak, rumah besar tiga lantai itu malah terlihat sangat menyeramkan. Mereka tidak bisa melihat jelas penampakan di dalam rumah itu.

"Ayo, Kadieu … masuklan ke dalam… Bersemedilah sebelum kalian baik ke panggung," ucap Indung Ali yang sudah berdiri di depan pintu sebuah ruangan. Dia meniupkan asap kemenyan dari bokor kecilnya, sambil memegangi kening-kening penarinya… tidak lupa ada mantra yang bacakannya.

Sri berada di paling belakang barisan. Indung Ali langsung menariknya menjauh dari pintu itu. Sri terkesiap akan kuatnya tangan Induk Ali… tetapi dia manut saja.

Atik yang melihat sikap Indung Ali dari kejauhan, langsung sigap mengawasi pria tua itu menggeret Sri.

Mereka berhenti di dekat jendela.

Tetapi Sri bingung … Indung Ali memandanginya tanpa kata. Sri bengong, pria itu tidak mengalihkan wajahnya. Dia menelisik lebih, kilau kemerahan terpantul pada kedua netra tajam itu. Beberapa detik kemudian … kelopak mata Indung melebar, retinanya langsung membulat … hanya tampak putihnya saja yang bersemayam. Mulutnya terasa kaku hingga terlihat jelas urat-uratnya tertarik dari lehernya. Indung Ali seperti tertahan sesuatu, dia terlihat seperti hendak berteriak. Asap kemenyan dari bokor Indung Ali membentuk pusaran, seakan-akan menjabarkan ada sesuatu yang kacau-balau. Sri tidak berusaha menghindari Indung Ali yang sedang menerawangnya.

"Kamu tetap membawa kedua tombak itu, Sri?"

Suara Indung Ali berubah parau. Sri kelu. Bahkan sampai sekarang dia tidak mengerti arti dari kedua tombak itu. Sri pun memutuskan untuk tidak menjawab apa pun.

Indung Ali mendekatkan wajahnya lagi, jaraknya hanya sejengkal ...  terciumlah wangi tembakau, cengkih bercampur dengan bau kemenyan.

"Gita lirihan dan tarianmu akan kuat beiringan kedua tombak itu … Sampai-sampai para lelaki ketakutan dan tidak ada yang berani naik ke atas untuk menari. Sang Raja tentu akan menyukainya, dia siap menukar petaka untuk mendapatkan sang Pengantin Penari Cadeau. "

"… Pe … Petaka?" Sri tak mengerti kalimat itu.

Indung Ali memundurkan langkahnya. Perlahan dia menoleh ke arah tangga yang tidak jauh dari mereka. Ujung jarinya naik ke atas. Dia lurus tepat ke arah seorang Pria berdiri di tengah-tengah anak tangga. Siluet lampu minyak menakhlikkan sosok tinggi itu. Rambut pirangnya tampak berkilauan.

Hikayat Sang PenariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang