Genggaman tangan Hyunjin terlepas saat mereka sampai di studio lukisnya.
Wah― Sejak kapan studio lukis ini―? Batin Sia yang tampak kagum dengan tata letak tempat ternyamannya itu sudah berubah.
Pikiran Sia terhenti saat prianya menyuruh dia duduk di sofa baru yang berada di sisi jendela tempat favorit kedua Sia itu― karena yang pertama mulai hari ini adalah kamar Hyunjin.
"Aku menyiapkan beberapa hal untuk kita. Ada kursi lukis untukmu. Sofa yang kamu duduki saat ini juga baru aku beli. Karena aku ingin kita duduk di sana saat kita akan saling menceritakan tentang lukisan kita."
"Dan juga— beberapa alat lukis tambahan karena kita akan menghabiskan banyak waktu dengan melukis bersama." Hyunjin tampak bersemangat dan tersenyum bahagia saat menjelaskan. Membuat Sia juga tersenyum melihat dan merasakan ketulusan kekasihnya pada hubungan mereka.
Pria itu tampak merona setelah melihat Sia tersenyum memandangnya, dia berusaha setenang mungkin, seakan sibuk menyiapkan alat lukisnya seperti biasanya.
Sia yang masih berdebar karena kecupan yang masih terasa di dahinya itu semakin terpesona melihat kekasihnya yang tampak fokus.
Bahkan punggung Hyunjin tampak sangat indah dari belakang. Bagaimana jika aku melukisnya? Batin Sia.
"Hyun― Kamu mau mencoba melukis ku?" Tanya Sia tiba-tiba.
"Aku ingin―"
Hyunjin yang langsung menggeleng, membuat Sia melanjutkan ucapannya dalam hati.
―merasakan interpretasimu tentang aku dalam sebuah lukisan. Batin Sia.
"Aku tidak suka melukis wajah seseorang maupun bagian wajah seseorang." Jawab Hyunjin.
"Karena menurutku, aku tidak bisa menggambarkan apa yang orang itu rasakan, apa yang ingin dia sampaikan dengan tatapan matanya atau raut wajahnya. Aku takut― aku takut apa yang aku lukiskan, apa yang aku gambarkan tidak sesuai dengan apa yang dirasakan orang itu."
"Sepertinya aku tidak bisa merasakan apa yang akan tertuang di lukisanku." Jawab Hyunjin yang masih membelakangi Sia, masih fokus menyiapkan alat lukisnya.
Gadis itu hanya mengangguk mendengar penjelasan Hyunjin, meski ada perasaan kecewa dan kesedihan dari matanya yang masih terpaku memandangi punggung kekasihnya itu.
Dia sebenarnya memang ingin tahu perasaan Hyunjin padanya melalui lukisan. Jika kekasihnya itu masih tidak bisa mengatakan perasaan terdalamnya, paling tidak, Sia ingin tahu bagaimana jika Hyunjin melukis tentangnya, bagaimana arah sapuan kuasnya, pemilihan warnanya dan sudut pandang Hyunjin tentangnya.
"Mau melukis?" Tanya Hyunjin yang tidak menyadari diamnya sang kekasih.
"Kamu saja. Aku akan menemanimu." Jawab Sia tersenyum.
Dia sedang tidak ingin melukis. Jika tadi perasaan gugupnya berubah jadi perasaan indah yang mendebarkan, kali ini Sia merasakan kehampaan dan juga keraguan. Entah karena Hyunjin yang tidak mau melukisnya atau alasan kekasihnya yang masih belum bisa mengatakan perasaannya atau memang dirinya yang masih mencemaskan pertemuannya dengan ibunda Hyunjin.
Hyunjin hanya mengangguk mendengar jawaban Sia. Dia sebenarnya merasakan jika Sia-nya agak memberi jarak, entah karena jawabannya barusan atau karena gadisnya itu masih gelisah akan bertemu dengan bundanya. Namun dia memilih untuk tidak membicarakannya dengan Sia, takut jika penyampaiannya akan membuat salah paham.
Pria itu kemudian duduk di kursinya dan mulai menyiapkan cat warna untuk melukis.
Meski tidak melukis bersama, keberadaan Sia di studio lukisnya sudah memberikan dampak besar pada perasaannya. Hyunjin melihat Sia yang masih menatapnya, seperti ada sesuatu yang ingin si gadis sampaikan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Love Untold
FanfictionDi depan orang yang mencintaiku, aku bahkan tidak bisa mengatakan bahwa aku mencintainya Itu menyakitkan Aku tak tahu seperti ini adanya Karena jantungku yang berdebar kencang di hadapanmu Itu membuatku ingin menghela nafas tanpa alasan Air mata yan...